pict: pinterest
Tahun 2022 baru saja berlalu dalam tanggalan ke belakang. Sudah seminggu berlalu dan kalender di dinding menunjukkan angka baru; 2023. 2022 merupakan tahun yang berat dan jungkir balik. Secara fisik dan mental. Aku melewati paruh pertama dengan menjadi pasien seorang psikolog. Semenjak paruh akhir 2021. Tengah tahun 2022, aku tetap konsultasi ke psikolog. Ini hanya sebuah usaha untuk tetap menjadi waras dan untuk menyelamatkan fisikku yang kian hari kian turun berat badan. Selama itu, aku menutup diri dari banyak hal, tapi juga membuka diri pada banyak hal. Ada lubang menganga besar di dadaku yang pun betapa mengangga ia, yang hadir hanyalah kekosongan.
Pelan-pelan, di paruh akhir tahun 2022, aku mulai kembali merasa hidup. Aku menemukan diriku lagi. Aku menghidupi lagi values yang selama ini aku miliki. Bukan hanya karena usahaku sendiri untuk sembuh, tapi berkat keluarga, teman dan sahabat terdekat yang terus menemani fase berat dalam hidupku. Mereka, secara bergantian membersamai. Ga perlu aku sebut, karena kalian sudah tentu tau dan merasa. Terima kasih banyak.
Dan, yang padam dalam rongga dada, kini menemukan kembali nyalanya. Aku mulai menyalakan kembang api. Dengan percik sedikit. Dengan hangat yang cukup. Hingga jadi kobar yang membara. Tapi. Cantiknya bak kembang api tahun baru yang aku saksikan di sepanjang tol layang menuju Jakarta. Euforianya akan hilang. Apinya akan padam. Tapi aku tau, bahwa aku sudah dalam pelukan kehangatan yang paling tepat.
Selamat menempuh 2023 Wina, dengan cinta dan kasih sayang terbaik yang bisa kamu berikan pada semesta.
Apa sih serunya nonton orang Jepang yang jajan ke warung makan tengah malem? Mungkin terdengar sangat biasa. Serial Jepang berjudul Midnight Dinner tidak sengaja aku temukan ketika mencari serial drama yang ringan di Netflix. Setelah membaca review singkatnya, aku langsung nyoba episode pertama di season pertama serial ini, dan ternyata nagih.
Setiap episode dibuka narasi Master (juru masak) di sebuah warung makan kecil di Tokyo yang hanya buka pukul 12.00 dini hari sampai 07.00 pagi. Tempat makan yang kecil dengan meja bar berbentuk U yang biasa kita temui di restoran-restoran Jepang lengkap dengan gelas sumpit. Warung makan milik Master ini ga punya menu khusus, aturan sang Master adalah dia akan menyajikan makanan yang dipesan pelanggannya selama ia punya bahan-bahannya. Jangan salah, Master punya banyak pelanggan tetap mamupun mereka yang datang dan pergi karena kebetulan saja.
pict source: https://www.mainmain.id/
Bagian yang menurutku menarik adalah, setiap episode yang durasinya sekitar 25 menit ini akan menceritakan satu kisah yang berbeda. Biasanya adalah kisah-kisah pelanggan yang datang ke rumah makan ini. Ceritanya relate dengan kehidupan manusia pada umumnya; kesepian, kesedihan, kehilangan, patah hati, amarah, cinta kasih. Yang menarik setiap cerita akan memiliki relasi dengan makanan tertentu. Misalnya saat Gen seorang yang berpenampilan kasar seperti Yakuza selalu memesan akar gobo kepada Master. Ternyata akar gobo memiliki kenangan yang dalam tentang masa lalunya di SMA. Pengenalan - konflik - hingga resolusi dapat tersampaikan dengan baik dalam 25 menit.
pict source: https://www.mainmain.id/
Setiap episode menjadi kaya akan cerita dan karakter setiap tokoh yang diceritakan. Aku akan menemukan kegelisahan seorang pekerja swasta perusahaan Jepang yang hampir tidak bisa membayar sewa rumahnya, seorang wanita penghibur yang berusaha keras menghadapi stigma karena ia bekerja dari menari malam hari, seorang ayah yang merindukan anaknya, atau tokoh-tokoh lain yang mungkin saja sama seperti mereka yang aku temui di kehidupan ini. Mereka membawa cerita, berkah, dan bebannya masing-masing.
Master, masakannya, dan warung makan kecil di tengah malam Tokyo menjadi semacam tempat sementara bagi orang-orang yang datang untuk sejenak beristirahat, sambil menikmati makanan rumahan yang mendatangkan banyak kenangan dari masa lalu.
Aku pernah mengingat kenangan hanya gara-gara makan pecel lele, ice cream McD, atau makanan apapun yang bisa membangkitkan cerita dari masa lalu.
Nay! Makasih udah jadi Naya yang aku kenal, jadi teman seneng dan susah. Bener-bener definisi temen yang ada pas seneng, dan nemenin pas susah. Sebulan ke belakang aku kehilangan semangat, kebahagiaan, keceriaan. Mereka ilang gitu aja Nay, tiba-tiba aja bisa sedih banget dan nangis di ranjang sampe sesek. Dua minggu tanpa ngerasa lapar, ajaib. Dua minggu susah tidur dan bangun cuman karena muntah-muntah. Iya, itu aku ketika dunia tiba-tiba ga seimbang. Lebay. Tapi emang begitulah adanya. Aku kehilangan banyak hal, termasuk berat badan yang sangat aku inginkan. Lalu Naya hadir, nemenin, meskipun bukan dengan pelukan tapi dengan sumpah serapah dan caci maki hahaha Keliatan jelas kamu pengen bilang kenapa aku nyiksa diri, kenapa aku bodoh banget, tapi kamu ga bilang apa-apa. Nyerahin sepenuhnya sama aku, soal apa yang aku pikirin, soal apa yang aku rasain. Kamu ga nyaranin apapun, kamu cuman nyamperin dan tinggal di samping aku sampe aku ngerasa lebih baik. Pas Naya balik ke Bandung, rasanya berat banget tau! Terus tiba-tiba banyak paket dateng ke kosan. Kamu ngirim hal-hal yang aku butuhin, dan tau banget kalo aku ga akan peduli sama hal-hal itu. Bisa jadi karena aku terlalu cuek, atau terlalu bokek. Kamu liat aku selalu kuliah daring atau terapi virtual dengan megang hape berjam-jam. Aku tau aku butuh folding bracket, tapi aku selalu lupa buat beli. Maklum sibuk. Aku sering kelaperan tapi mager beli bahkan mager nyemil. Aku baru nyoba pake softlense, dan pasti ga peduli sama penampilan. Lalu kamu kirim semua yang aku butuhin itu. Meskipun kamu ga ngirim kaos Barasuara yang aku pengen. Kureng Nay! Perhatian kecil yang murah tapi berharga banget. Postingan ini kalo dibaca lagi di kemudian hari, kita bakal ngakak dan ngenang ini sebagai masa-masa muda yang menyakitkan sekaligus menyenangkan. Aku mungkin kehilangan banyak hal, tapi satu yang jelas, aku mensyukuri satu hal. Aku punya Naya yang akan selalu jadi temen aku. Yang mulutnya lemes banget tapi hatinya hangat. Pamulang, 30/11/21
Kuhentikan Hujan - Sapardi Djoko Damono
Kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan Ada yang berdenyut dalam diriku Menembus tanah basah dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari Tak bisa ku hentikan matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Selamat Ulang Tahun, Sahabatku Nurrayyan Alfatihah
Boleh jadi, menikah adalah keputusan terbesar yang pernah aku ambil, mengingat konsekuensinya mempengaruhi hampir sebagian besar hidupku. Keputusan-keputusan lain seperti memilih tempat kerja, menjadi relawan, mengambil job sampingan, pergi merantau, mereka juga keputusan besar, tapi tidak sebesar menikah.
Tidak ada pernikahan impian yang aku miliki. Berniat menikah dengan pesta kecil dihadiri keluarga dan sahabat saja tidak bisa dilakukan. Tentu saja karena beberapa pertimbangan, pestanya harus menjadi lebih besar dari keinginanku. Tetap bersyukur; setidaknya aku, suami, keluarga kami bahagia dengan pesta itu. Karena tidak ada wedding dream laiknya muda mudi umum. Proses pernikahan kami termasuk cepat, dan bisa masuk ke kategori sat-set, a.k.a kami berdua mageran untuk ngeribetin diri, fafifu wasweswos, hampir banyak dari vendor yang dipilih tidak lebih dari hitungan menit. Dahlah, manusia punya standar masing-masing, dan standar kami adalah yha begini wkwkwk
Dalam minggu yang sama menjelang pernikahan, aku menghadapi dua momen besar; sidang tesis di hari Senin, menikah di hari Sabtu. Senin malamnya Masgo masuk rumah sakit dan harus di rawat tiga malam ke depannya. Anehnya, aku masih dalam kondisi oke, engga panik, dan santai aja. Maksudku, aku dalam posisi sadar bahwa aku butuh diriku aware bahwa satu-satu harus dilewati. Jika Senin aku harus sadar diri ada tesis yang harus dirampungkan, maka malam-malam berikutnya aku sadar diri ada Masgo yang perlu ditemani untuk segera sembuh. Tiba di haru Sabtu, ya aku sadar diri bahwa hari itu adalah hari pernikahanku. Sudah itu saja. Lelah rasanya jika terus menerus mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Oh mungkin ini skill baru yang aku pelajari karena terpaksa harus hidup mendewasa.
Setelah pernikahan selesai, aku sangat-sangat beruntung dan bersyukur. Melihat keluarga, teman-teman, kolega, bahkan guru-guru yang sangat aku hormati menyempatkan hadir. Aku merasa sangat diberkati dengan doa dan kedatangan mereka. Pun mereka yang tidak sempat datang, doa baik dan tulus yang berdatangan ga ada habisnya aku syukuri. Belum lagi kado-kado pernikahan. Ah terberkatilah orang-orang baik di sekelilingku.
Baikah, anggap saja aku baru membuka salah satu pintu gerbang, menuju perjalanan tanpa batas yang pasti ada batasnya; kematian. Aku memutuskan untuk menikahi dan dinikah Masgo, yang mana penikahan ini hanya akan berakhir ketika salah satu diantara kami mati. Pernikahannya berakhir, perjalannya abadi. Mari berbagi lagi diberbagai kesempatan baik dan buruk, pahit dan manis, kehidupanku ke depan.
Ibu Lastri adalah asisten rumah tangga di kosan yang aku tempati di Pamulang. Kurang lebih dua bulan aku masuk sebagai anak kost di rumah ini. Gatau kenapa, aku selalu merasa lebih nyaman ketika ngekos serumah dengan induk semangku, bisa di bilang lantai bawah untuk kami anak kost, dan lantai atas untuk tuan rumah. Ibu kost tinggal sendiri karena suami dan anak-anaknya tinggal di Inggris, dan terpaksa karena covid-19 terjebak bersama kami anak-anak kost plus Bu Lastri yang sudah bekerja hampir 13 tahun bersama. Tapi cerita ini bukan tentang induk semangku, tapi tentang Bu Las.
Di antara tiga orang anak kost, akulah yang paling sering ada di rumah. Selain karena pekerjaanku yang paruh waktu, aku juga kembali berstatus mahasiswa yang kerjaannya kuliah daring di kosan. Mas Salman kerja pagi pulang malem, begitu juga Elya kerja pagi pulang malam. Bisa dibilang dua bulan ini Bu Las adalah 24/7 ku di Pamulang.
Dua bulan adalah waktu yang cukup untuk mendengarkan kisah hidup seorang Lastri, dari versi muda hingga saat ini berusia lebih dari 60 tahun. Aku selalu bersemangat mendengar kisah hidupnya yang telah bekerja di banyak kota, membantu banyak rumah tangga, memasak banyak masakan sesuai selera majikan. Karena itu, masakan Bu Las wuenakk banget! Masak apapun bisa! rasanya ga ada dua!
Suatu hari aku sakit, ga bisa keluar kosan, Bu Las dengan insting dan pengalaman seorang wanita di usia senja, bisa tau apa yang aku rasakan. Beliau sibuk membuat bubur, membuat ramuan, bahkan nyari koin buat kerokan. Serius! Aku dirawat dengan baik selama sakit. Setiap kali lelah dan penat dengan segala rutinitas dan kesibukan, aku akan mengetuk kamar Bu Las, izin minta baring atau tidur di kamar Bu Las. Kamar yang kecil, penuh dengan barang-barang yang entah kenapa tidak di buang saja, yang harumnya mengingatkanku pada harum mamah abeh, nenekku. Aku akan meringkuk di kasur itu, bisa langsung terpejam dengan cepat, dengan Bu Las di sampingku menonton sinetron di TV. Setiap aku pulang ke Pamulang, aku selalu ingin memanggil Bu Las lebih dulu. Tanda cintaku di Pamulang, ternyata Bu Lastri. Mungkin aku tidak lama di Pamulang. Waktu singkat ini tidak menumbuhkan seribu teman, tapi satu Bu Lastri cukup ngasih seribu cerita.
There's a little bit of me inside you Gathering what you've lost
Terima kasih kepada Mbak Nisa yang bikin river of life nya diwakili oleh lagu-lagu, kayanya sistem yang sama akan aku adposi terus. Karena musik adalah bagian dari perjalanan personalku.
Sebagai anak yang lahir di tahun 90-an dan memiliki tiga abang laki-laki yang lahir di antara tahun 80-90 an, aku menjadi adik perempuan hasil doktrinasi musik pop Indonesia kala itu, mungkin musik 90-2000. Dulu, kami punya rumah sederhana dengan tiga kamar. Pembagiannya cukup jelas, satu kamar untuk orang tua, satu kamar untuk anak laki-laki, dan satu kamar untuk anak perempuan. Meskipun secara kuantitas dan kualitas pembagian ini kurang ergonomis. Satu kamar sempit harus diisi tiga anak laki-laki (adik laki-lakiku ga perlu dihitung karena masih tidur sama Mimih dan Bapak) tentu saja tidak mudah. Tapi kami tidak punya banyak waktu untuk mengeluh, selama kami punya radio tape dan musik. Jarak umurku dengan kakak laki-laki tertua cukup jauh, mungkin usiaku masih di bawah tujuh tahun saat memiliki kesadaran tentang kaset-kaset pita milik abangku yang tersusun rapi di rak buku; Sheila on 7, Dewa 19, Padi, Jikustik, Slank, Jamrud, PeterPan, Base Jam, Mocca, Naif, Coklat, KLA Project. etcetera. Tumbuh dengan melihat abang yang saban hari benerin pita kaset yang kusut pake pulpen adalah kenangan masa kecilku.
Hari ini aku ngobrolin Noah yang remake video klip “Yang Terdalam” dengan dua orang sahabatku. Honestly, aku sangat menikmati dan memutarnya berulang sambil ngerjain ujian akhir semester. Aku buta nada, ga paham musik, dan hanya penikmat saja. Tapi rasanya nyaman sekali, gambaran masa kecilku berkelibatan di kepala. Btw, rambut Iqbal Ramadhan bikin ngiri, sebagai fans lelaki gondrong dan perempuan rambut pendek, pas Bale kibas-kibas rambut jadi pengen ke salon.
Aku juga bertanya pada mereka, jika ada lagu dari masa lalu yang mereka ingat dan ingin mereka dengar lagi sekarang, hanya satu lagu saja, mereka akan pilih lagu apa. Aku memberi mereka sedikit waktu untuk berpikir. Lagu yang muncul adalah Menghitung Hari dari Anda dan Ruang Rindu dari Letto. Pilihan yang hangat.
Aku selalu percaya bahwa musik mampu mengikat manusia, mengikat dengan kenangan dan perasaan.
Bu Lastri bikin bubur kacang ijo pake daun pandan, wangi banget. Dia anter semanguk bubur kacang ijo ke kamarku. Sedang aku sibuk dengan banyak sekali laporan assessment anak-anak di klinik. Casual aku putar sambil mandang bubur kacang ijo lekat-lekat, lamat-lamat. Ah. Aku masih harus mensyukuri hari ini. Hamdallah bubur kacang ijonya enak banget.
Sebagai manusia pada umumnya, aku merasakan krisis dalam hidup. Entah ini bisa dikatakan sebagai quarter life crisis atau tidak, tapi berada dalam kondisi yang terpuruk, merasa jatuh dan kebingungan dengan arah hidup tentu saja pernah aku alami. Tapi, sebagai orang yang terlahir dari keluarga muslim dan memiliki kesadaran dalam beragama Islam, aku meyakini bahwa serendah apapun kondisi seseorang, selemah apapun ia dalam hidup, seterpuruk apapun hidup seseorang, manusia selalu punya pilihan untuk mengubah nasibnya. Al-Ra’d ayat 11.
Aku selalu terngiang adegan ketika Soe Hok Gie (Nicholas Saputra) berbincang dengan sahabatnya Herman Lantang (Lukman Sardi) yang bertanya tentang untuk apa sebenarnya perlawanan Gie selama ini. Tentang perubahan, jawaban Gie. Aku selalu ingat dialog Gie;
“Kalau kita hanya menunggu, menerima nasib, kita tidak akan pernah tau kesempatan apa yang sebenarnya kita miliki dalam hidup ini.”
Kalimat ini selalu terngiang dalam kepalaku sejak pertama kali nonton film Gie tahun 2010, nonton dengan kualitas gampar paling rendah saat itu. Lalu Gie menyebutkan lagu Donna Donna - Joan Baez, yang pada intinya Gie ingin bilang apa yang ia dapatkan dari lagu itu;
bahwa kita tidak boleh menerima nasik buruk dan menganggapnya sebagai jalan hidup yang sudah ditentukan bagi kita, pasrah, jika manusia ingin bebas, kita harus belajar terbang (Gie)
Jika kita membaca referensi lain, Donna Donna adalah lagu ditulis oleh seorang Yahudi dan meneriakkan kondisi kaum Yahudi dalam penderitaannya dalam ancaman NAZI yang dipimpin Hitler. Kita sering membaca sejarah mengerikan dalam peradaban manusia dan kemanusiaan, salah satunya Holocaust. Kaum Yahudi saat itu tidak bisa memilih kenapa terlahir sebagai seorang Yahudi dan menjadi incaran Hitler. Hingga dalam pilu mereka hanya bisa meratapi nasib dan memanggil Tuhan mereka dalam bahasa Ibrani.
Cerita seorang petani, seekor anak sapi, dan burung walet. Penggambaran yang menarik dalam melihat nasib si anak sapi yang akan dibawa ke pasar tengah iri pada walet yang terbang dengan bebas. Tentu saja omelan petani selalu jadi bagian yang menyebalkan buatku;
"Stop complaining, " said the farmer "Who told you a calf to be? Why don't you have wings to fly with Like the swallow so proud and free?"
Akan aku tutup dengan lagu Eross yang paling aku suka, selain semua lagu di Sheila on7.
Sampaikanlah pada ibuku Aku pulang terlambat waktu 'Ku akan menaklukkan malam Dengan jalan pikiranku Sampaikanlah pada bapakku Aku mencari jalan atas Semua keresahan-keresahan ini Kegelisahan manusia Tak pernah berhenti berjuang Pecahkan teka-teki malam Tak pernah berhenti berjuang Pecahkan teka-teki keadilan
Akan aku telusuri Jalan yang setapak ini Semoga kutemukan jawaban
Gie - Eross & Okta