There's a little bit of me inside you Gathering what you've lost
Jangan tinggalkan hamba Toh hujan sama menakjubkannya Di Paris atau di tiap sudut Surabaya
Aku adalah manusia yang ga punya masalah ketika harus makan sendirian. Engga inget pasti sejak kapan prinsip ini aku pegang. Bagiku, makan ya makan. Proses mengunyah dan menelan makanan, sampai akhirnya kenyang dan ga lagi lapar. Perkara ada temennya atau engga, bagiku itu di luar proses makan. Bukan berarti aku tidak menyukai untuk makan bersama orang lain. Tentu saja senang bisa berbagi ruang saat makan. Tapi makan sendirian pun tidak mengurangi perasaan senangku ketika ketemu makanan.
Singkatnya, hari ini aku memutuskan makan siang di salah satu rumah makan padang yang sudah sering direkomendasikan teman-temanku di Pamulang. Kebetulan letaknya berdekatan dengan salah satu cafe yang akan aku kunjungi sore ini. Perut kecil yang kayanya ususnya panjang ini kurang kenyang jika hanya makan berat di cafe hehe. Makanya mampir dulu ke nasi padang. Seperti biasa aku hanya kaosan dan gendong ransel. Setelan pindah nugas dari kosan ke cafe, tapi males dandan. Seperti biasa aku pesan makan.
Setelah aku nemu meja kosong di pojokan, aku memutuskan menunggu pesanan sambil nonton Laal Singh Chaddha di Netflix, dengan pemeran utama Aamir Khan (favoritku! hampir semua filmnya aku tonton) dan Kareena Kapoor, aktris yang sudah muncul di tv sejak aku kecil.
Anw, pelayannya dateng bawa piring isi ayam bakar. Aslinya lebih banyak dibanding di foto, karena nasinya numpuk dan mleber. Tapi apa yang pelayan itu katakan sesampainya dia di mejaku?
“Kok makan sendirian Mbak?”
Aku balas hanya dengan tersenyum. Tak lama dia segera kembali bekerja dan meninggalkan mejaku. Lantas aku hanya bisa tersenyum. Jika aku hitung dengan teliti, berapa puluh kali aku dapat pertanyaan bernada sama. Mungkin bisa aku hitung sejak 2013, ketika pindah untuk berkuliah di Depok. Aku sudah memulai praktik makan sendirian. Hasilnya pasti banyak. Mereka yang bertanya demikian engga kenal tempat. Di warung padang, pecel lele, tempat ngopi mainstream, tempat ngopi indie, bahkan warung bakso favoritku di Garut, bertanya sampai dua kali untuk memastikan apakah aku makan sendiri dan apakah ga ada temen yang nyusul. Selama ini jawabanku beda-beda, kadang aku tanggapi serius, kadang aku becandain, kadang kaya hari ini cuman aku senyumin. Kenapa manusia begitu penasaran dengan perkara temen makan orang lain? Padahal yang kenyang perutku. Pertanyaan model begini ga akan bikin kenyang rasa penasaran atau basa basimu. Tentu saja jika di lain hari aku masih dapet pertanyaan begini, aku masih akan senyum-senyum sendiri :)
Ga lama lagi aku akan menikahi dan dinikahi seorang laki-laki yang datangnya entah bagaimana tanpa banyak drama. Hidupku sudah lebih dari cukup soal drama romantis amburadul yang dijalani bertahun-tahun lamanya. Maka cerita yang mengalir biasa saja jadi terasa lebih cocok untuku saat ini. Tulisan ini tentu saja untuk Masgo yang entah kenapa aku merasa sangat bersyukur memilih dia. Penuh.
Ada banyak hal yang kami diskusikan sebelum akhirnya memutuskan untuk saling menikahi. Ada banyak hal yang kami sepakati soal hidup, masa lalu, masa kini, dan masa depan. Yang tentu saja tidak mudah adalah menghadapi ketidaksepakatan. Niscaya itu akan terus terjadi selama kami hidup saling menemani ke depan. Maka tidak apa jika kita tidak sepakat pada satu dan dua. Karena apapun bentuknya, kami akan saling menghormati satu sama lain. Tentu ketidaksepakatan ini memiliki batasan yang jelas, kalaupun belum jelas, maka selalu ada ruang diskusi yang pasti terbuka untuk kami berdua berkompromi.
Masgo, karena bahasa kasihku berbeda denganmu, makasih ya untuk setiap potongan daging yang lebih besar, lebih banyak, yang selalu kamu letakan di piringku setiap kali kita makan. Untuk setiap kesempatan kamu membawakan tasku, mau yang besar pun yang kecil tanpa harus bertanya. Untuk kerelaan hati melewati Pamulang yang macetnya bikin sakit ubun-ubun, dan pemotornya begitu percaya diri keluar gang tanpa tengok kiri kanan. Makasih karena selalu ga percaya aku yang baca maps kalo pergi, karena baca maps adalah tugas mengerikan untukku. Makasih untuk setiap playlist yang sengaja kamu susun. Karena selalu bertanya pendapatku soal apapun, aku tau semua itu adalah bentukmu menghormati dan menghargaiku sebagai individu, sebagai pasangan. Karena selalu punya sisi tegas untuk megambil sikap, aku belajar darimu. Untuk setiap aku yang tidak mau jadi kuat untuk buka botol minum, lalu kamu bersungut-sungut soat feminisme, aku juga akan terus tertawa dan berterima kasih untuk itu. Ada hutang bacaan yang belum aku tuntaskan sampai hari ini, sengaja aku pending, supaya bisa aku baca nanti ketika kamu benar-benar disampingku. ANJAY. INI BOONG HAHAHA yang benernya aku ga sempet baca aja 3 buku rekomendasimu hehe.
Maka menikahimu, hanya tinggal sebentar lagi
I discovered my love for cycling when I met Dargo. At the time, he was just someone I knew, and I never imagined I would end up marrying him. Getting to know Dargo also meant getting to know cycling, a passion he had pursued regularly for several years before we got married. I began watching European cyclists glide beautifully through green mountains and snowy hills. Naturally, I was captivated and wondered if I could ever do something like that.
After we got married, I decided to share a hobby with Dargo and give cycling a try. I chose it for myself, not because my husband pressured me—Dargo has never forced me into anything.
On December 26, 2023, I bought a Twitter Cyclon Pro Disc R7000-22S bike in black and red. After discussing it with my husband, we decided this would be my first bike. The main factor was its affordability at the time, combined with its full carbon frame and Shimano 105 groupset. Despite one drawback—the bike was still a bit too large for me—it was the best option for us.
In early January 2024, I began my journey as an amateur cyclist. I started getting used to my new bike, beginning with my first 50 kilometers, then 70 kilometers, and eventually my first 100 kilometers. I still vividly remember my first 100 kilometers; I took the route from South Tangerang to Bogor, riding back and forth from home. Anjay rada gelo!
Eight months after buying my road bike, I decided to participate in a race in July 2024. I joined the Tour de Ambarukkmo in Yogyakarta in the regular category, covering 128 kilometers. Of course, with various adjustments to make the bike fit my body. It was an exhilarating experience, especially since I typically only cycled once a week on weekends. But I prepared as best as I could, training enough and learning to understand my body. In the end, I completed the Tour de Ambarukkmo. Though it was exhausting, I was filled with pride—a feeling of abundance.
Cycling, like running, is more than just a sport for me. These activities are my way of connecting with my body and the world around me. When I cycle or run, I focus on feeling my body, muscles, breath, and heartbeat. I learn to recognize pain and fatigue. I become fully aware of my body, knowing when to stop and when I can keep going. When cycling, I often clear my mind. I never listen to music while riding; instead, I prefer to hear the rhythm of my breath, the sounds around me, and the wind rushing against my body as I descend hills or climb slopes.
I can’t recall exactly when I fell in love with cycling, but I’ve come to realize that it has become one of my most meaningful routines. When I miss a ride, something feels off and different. Perhaps, at this point, cycling has become an essential part of who I am.
Tangerang, 23 Agustus 2024
Akhir-akhir ini aku nugas sering banget ditemenin lagu ini. Enakeun banget ampun!
Aku akan menulis untuk diriku sendiri. Semacam terapi untuk menjaga diriku tetap waras. Salah satu kolegaku seorang art therapist menyarankan supaya aku mencoba art journaling untuk jadi semacam personal reflection, membantuku menuangkan dan memetakan setiap emosi yang aku alami. Sejujurnya ini cukup membantu, tapi karena kendala waktu art journaling ini sulit untuk aku lakukan secara konsisiten. Satu-satunya cara ya menulis lagi, di media yang bisa aku ases kapan saja. Kenapa aku menulis lagi? Jujur saat ini karena aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh meregulasi diri dan mencerna segala hal yang terjadi begitu saja. Selain itu, aku tengah menghadapi ketakutan terbesarku: kehilangan.
Everyone who has something is afraid of losing it, and people with nothing are worried they'll forever have nothing. Everyone is the same. (Haruki Murakami)
B: Aku jauh-jauh ke sini mau bilang sesuatu.
A: Apa?
B: Aku pulang.
Dari sekian bintang cakrawala Apa hanya kita saja yang bernyawa? Lahir, kita semua tak berdaya Lalu hidup kita mesti berupaya Dan dewasa terpaksa memikul raya
Banyak yang aku tak akan tahu Yang kamu tak akan juga tahu jawabannya Sejenak berhenti bertanya Nikmati saja waktu yang kita punya Nikmati saja waktuku yang kupunya
Mustahil untuk kupahamimu Tak sepenuhnya kau pun memahamiku Tak tahu Mungkin memang nadi kita Mungkin bila semua aku pahami Mungkin rasa ini tak menarik lagi
No matter how much I try, no matter how much I want it, some story just don't have a happy ending
Hari ini aku kembali pergi lebih awal untuk berangkat kerja. 05.55 udah rapi dan manasin motor karena seperti biasanya 06.00 aku harus berangkat dari rumah menuju stasiun KRL, supaya dapet kereta jadwal 6.22 arah Tanah Abang. Jam segitu keretanya udah penuh, tapi ga penuh-penuh banget. Kurang lebih setahun ini aku memilih naik KRL karena efektif secara waktu. Kalo bawa motor ngabisin sejam sendiri, belum lagi menghadapi macet disana sini. Naik mobil tentu lebih nyaman, tapi tetep ga menghilangkan macet dan musti bayar tol seuprit yang semahal itu. KRL tentu jauh lebih murah dan cepat, tapi ga nyaman. Selain itu, aku lebih suka ketika punya waktu sejam sebelum pegang klien. Bisa ngaso di office sambil sarapan, nonton, baca artikel, scroll sosmed, atau ya gini, nulis.
Biasanya aku berangkat kerja bareng suami, kantor dia lebih deket dari rumah, yang mana bisa masuk kerja agak siang. Tapi dia lebih sering bertoleransi dengan ikut istrinya berangkat pagi. Sesekali dia nganterin penuh sampe kantor, padahal itungannya bulak balik jauh sekali. Untuk itu aku sering diam-diam bersyukur pas dibonceng dibelakang atau duduk disamping dia yang nyetir sambil nyanyiin playlist Scott Bradlee's Postmodern Jukebox; makasih loh Ya Allah.
Tahun ini, kami sama-sama masuk usia 30 tahun. Anjay 30 bro. Kepala tiga ini sungguh tidak terasa. Pagi itu aku bagun seperti biasanya, agak tickled pink mengingat hari itu aku jadi teteh-teteh umur 30. Lama aku memandangi laki-laki disampingku yang masih merem tapi udah goyang-goyang kaki, tanda dia udah bangun juga. Aku kasih pelukan dan kecupan pertamaku yang juga penuh syukur, makasih ya Allah ternyata aku akan menghabiskan seluruh umurku dengan orang ini.
Aku bangkit dari kasur menuju ke rutinitas pertama, minum air putih dan nimbang berat badan di timbangan digital. Aku bukan tipikal orang yang diet ketat, tapi cukup aware dengan kondisi tubuh. Ketika angka-angka menyembul dari balik layar timbangan, aku juga berterimakasih pada tubuh ini; yang berat badannya gampang turun dan susah naik, masa tulangnya selalu rendah dan lemak di subkutan yang selalu tinggi, juga indeks lain yang hampir selalu ideal. Makasih yang badan, kamu kuat sekali. Tentu saja aku akan bertanggung jawab menjaga kamu untuk jadi lebih sehat dan bugar tiap harinya.
Lalu, saat suamiku yang hilang dari kasur dan terdengar menyalakan kompor di dapur, kupikir dia mulai menyiapkan bekal, ternyata dia kembali naik ke kamar dengan cake di tangan. Skip banget ini orang naro cakenya kapan dan dimana. Meski sepertinya aku meniup lilin dan berdoa, dengan sebelah alis yang belum selesai diukir, aku mensyukuri momen kecil kami ini. Selamat Ulang Tahun Wina.