No Matter How Much I Try, No Matter How Much I Want It, Some Story Just Don't Have A Happy Ending

No matter how much I try, no matter how much I want it, some story just don't have a happy ending

More Posts from Winarasidi and Others

10 months ago

When I Fell in Love with Cycling

I discovered my love for cycling when I met Dargo. At the time, he was just someone I knew, and I never imagined I would end up marrying him. Getting to know Dargo also meant getting to know cycling, a passion he had pursued regularly for several years before we got married. I began watching European cyclists glide beautifully through green mountains and snowy hills. Naturally, I was captivated and wondered if I could ever do something like that.

After we got married, I decided to share a hobby with Dargo and give cycling a try. I chose it for myself, not because my husband pressured me—Dargo has never forced me into anything.

On December 26, 2023, I bought a Twitter Cyclon Pro Disc R7000-22S bike in black and red. After discussing it with my husband, we decided this would be my first bike. The main factor was its affordability at the time, combined with its full carbon frame and Shimano 105 groupset. Despite one drawback—the bike was still a bit too large for me—it was the best option for us.

When I Fell In Love With Cycling

In early January 2024, I began my journey as an amateur cyclist. I started getting used to my new bike, beginning with my first 50 kilometers, then 70 kilometers, and eventually my first 100 kilometers. I still vividly remember my first 100 kilometers; I took the route from South Tangerang to Bogor, riding back and forth from home. Anjay rada gelo!

Eight months after buying my road bike, I decided to participate in a race in July 2024. I joined the Tour de Ambarukkmo in Yogyakarta in the regular category, covering 128 kilometers. Of course, with various adjustments to make the bike fit my body. It was an exhilarating experience, especially since I typically only cycled once a week on weekends. But I prepared as best as I could, training enough and learning to understand my body. In the end, I completed the Tour de Ambarukkmo. Though it was exhausting, I was filled with pride—a feeling of abundance.

When I Fell In Love With Cycling
When I Fell In Love With Cycling

Cycling, like running, is more than just a sport for me. These activities are my way of connecting with my body and the world around me. When I cycle or run, I focus on feeling my body, muscles, breath, and heartbeat. I learn to recognize pain and fatigue. I become fully aware of my body, knowing when to stop and when I can keep going. When cycling, I often clear my mind. I never listen to music while riding; instead, I prefer to hear the rhythm of my breath, the sounds around me, and the wind rushing against my body as I descend hills or climb slopes.

When I Fell In Love With Cycling
When I Fell In Love With Cycling

I can’t recall exactly when I fell in love with cycling, but I’ve come to realize that it has become one of my most meaningful routines. When I miss a ride, something feels off and different. Perhaps, at this point, cycling has become an essential part of who I am.

Tangerang, 23 Agustus 2024


Tags
3 years ago

Makoto Shinkai; rasanya tau aku butuh apa

00.06 WIB 

image

pict source: https://theoddapple.com

Berakhir di depan leptop, padahal 15 menit yang lalu aku sudah mematikan lampu dan mencoba tidur. Hingga notifikasi email masuk dari salah satu Profesor di UI yang memintaku mengirimkan manuskrip jurnal penelitian yang sedang aku tulis. Sepertinya mendesak, maka aku putuskan membalas email dan mengirim manuskrip yang beliau minta. Setelah memastikan email terkirim dengan selamat, aku tergiur untuk menunda tidur beberapa menit lagi. Aku ingin menulis tentang Makoto Shinkai. Aku agak picky sama film dan anime Jepang, saking pilih-pilihnya, aku rela memutar ulang berkali-kali Only Yesterday produksi Studio Ghibli. Iya, aku anak visual yang dimanjakan semua animasi produksi Ghibli. Tapi, kali ini aku berani melakukan eksplorasi dalam khazanah per-anime-an seorang Wina. Aku menjajaki karya-karya Makoto Shinkai mulai dari  5 Centimeters per Second,  Your Name,  Weathering with You, dan tentu saja She and Her Cat yang merupakan film pendek durasi 5 menit yang memberi kesan paling dalam buatku. Masih ada beberapa karyanya yang masuk ke daftar tungguku, mengatur waktu antara kuliah, kerja paruh waktu, dan full time overthinker tentu saja sulit. 

Awalnya aku merasa pesimis dengan genre romantis yang muncul di film-film Makoto Shinkai, aku lebih tertarik pada cerita misteri dan fantasi. Bagaimana bisa dua tokoh karena perkara tidak berani menyampaikan perasaannya masing-masing bisa begitu menderita sepanjang cerita. Aku akan permisi ke toilet saja dibanding menyelesaikan tontonan. Tapi ternyata ada hal lain yang membuatku bertahan dan menyelesaikan setiap filmnya tanpa skip. Ternyata aku mengagumi visualnya. Menyelesaikan setiap film mengingatkanku pada menggambar dan melukis. Kegemaran yang sudah lama sekali aku tinggalkan. Seingatku, terakhir kali melakukannya ketika aku melukis sesuatu untuk mantan kekasihku dulu. Selebihnya, aku tidak pernah melakukannya lagi. Kehebatan visualnya membuatku rindu untuk melakukan kembali hal-hal yang biasa aku lakukan, yang membuatku senang dan merasa hangat. Rencana tindak lanjut dari sini adalah membeli beberapa hal yang aku butuhkan, kanvas, cat, micron drawing pen, krayon, pensil. Iya, Makoto Shinkai tau apa yang sedang aku butuhkan saat ini. Semesta yang ku lukis sendiri.  (Pamulang, hari yang berat setelah ujian akhir biostatistik 3 sks)

3 years ago

Midnight Diner - Serial Jepang yang Hangat

Apa sih serunya nonton orang Jepang yang jajan ke warung makan tengah malem? Mungkin terdengar sangat biasa. Serial Jepang berjudul Midnight Dinner tidak sengaja aku temukan ketika mencari serial drama yang ringan di Netflix. Setelah membaca review singkatnya, aku langsung nyoba episode pertama di season pertama serial ini, dan ternyata nagih. 

Setiap episode dibuka narasi Master (juru masak) di sebuah warung makan kecil di Tokyo yang hanya buka pukul 12.00 dini hari sampai 07.00 pagi. Tempat makan yang kecil dengan meja bar berbentuk U yang biasa kita temui di restoran-restoran Jepang lengkap dengan gelas sumpit. Warung makan milik Master ini ga punya menu khusus, aturan sang Master adalah dia akan menyajikan makanan yang dipesan pelanggannya selama ia punya bahan-bahannya. Jangan salah, Master punya banyak pelanggan tetap mamupun mereka yang datang dan pergi karena kebetulan saja. 

image

pict source: https://www.mainmain.id/

Bagian yang menurutku menarik adalah, setiap episode yang durasinya sekitar 25 menit ini akan menceritakan satu kisah yang berbeda. Biasanya adalah kisah-kisah pelanggan yang datang ke rumah makan ini. Ceritanya relate dengan kehidupan manusia pada umumnya; kesepian, kesedihan, kehilangan, patah hati, amarah, cinta kasih. Yang menarik setiap cerita akan memiliki relasi dengan makanan tertentu. Misalnya saat Gen seorang yang berpenampilan kasar seperti Yakuza selalu memesan akar gobo kepada Master. Ternyata akar gobo memiliki kenangan yang dalam tentang masa lalunya di SMA. Pengenalan - konflik - hingga resolusi dapat tersampaikan dengan baik dalam 25 menit. 

image

pict source: https://www.mainmain.id/

Setiap episode menjadi kaya akan cerita dan karakter setiap tokoh yang diceritakan. Aku akan menemukan kegelisahan seorang pekerja swasta perusahaan Jepang yang hampir tidak bisa membayar sewa rumahnya, seorang wanita penghibur yang berusaha keras menghadapi stigma karena ia bekerja dari menari malam hari, seorang ayah yang merindukan anaknya, atau tokoh-tokoh lain yang mungkin saja sama seperti mereka yang aku temui di kehidupan ini. Mereka membawa cerita, berkah, dan bebannya masing-masing. 

Master, masakannya, dan warung makan kecil di tengah malam Tokyo menjadi semacam tempat sementara bagi orang-orang yang datang untuk sejenak beristirahat, sambil menikmati makanan rumahan yang mendatangkan banyak kenangan dari masa lalu.

Aku pernah mengingat kenangan hanya gara-gara makan pecel lele, ice cream McD, atau makanan apapun yang bisa membangkitkan cerita dari masa lalu. 

2 years ago

Refleksi IWD 2023: Untuk diriku

Selamat Hari Perempuan Internasional! Biasanya aku merayakan #IWD tiap tahunnya dengan menuliskan refleksi singkat tentang pengalaman, harapan atau kegundahan yang tengah aku rasakan saat itu. Tapi kali ini aku menyempatkan diri untuk duduk diantara Bab-Bab tesisku yang tak kunjung usai dengan menuliskan refleksi IWD tahun ini. Tulisan ini ditujukan untuk diriku. Ada beberapa hal yang ingin aku ingatkan pada Wina di dalam sana.

Merasa Nyaman dengan Diri, Tubuh serta Tektekbengeknya: Sudah sejak kecil aku mendengar standar kecantikan dan tubuh seorang perempuan diperbincangkan. Sejak SD, aku familiar dengan lagu Panon Hideung. Betapa gambaran tentang perempuan cantik yang membuat laki-laki snewen adalah mereka yang berhidung mancung. Lantas hidung pesek ini bagaimana? Tentu saja saat itu aku merasa tercoret dari katagori cantik untuk ukuran perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku bertemu dengan banyak sekali perempuan di luar sana. Hingga akhirnya aku menemukan bahwa kecantikan itu universal. Standar kecantikan yang ada berujung pada objektifikasi perempuan. Standar kecantikan hanya buah dari konstruksi yang dibangun media. Etc etc wasweswos. Pikiran soal menjadi cantik di depan orang lain juga terkoreksi dengan sendirinya. Bahwa menjadi cantik adalah untuk diriku sendiri. Saat ini, aku bisa dengan bangga mengatakan di depan cermin bahwa aku sangat menyukai porsi tubuhku yang petite. Gadis semeter setengah yang juga menyukai bentuk hidungnya yang pesek. Menerima bekas luka di pipi kanan yang sulit ditutupi bedak. Menerima secara terbuka luka batin yang sempat perih dan terus tinggal di dalam sana. Menyukai bagaimana aku berpakaian. Mencintai bagaimana aku berbicara dan berpendapat. Aku nyaman dengan tubuh, diri dan segala tektekbengek yang mengikutinya. Seperti sakit pinggang di hari pertama menjelang menstruasi yang nyerinya minta ampun. Aku pun memeluk itu sebagai bagian dari diriku hari ini.

Menerima Bahwa Tidak Semua Perempuan Memiliki Pilihan: Sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Aku adalah seseorang dengan privilege tumbuh dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Bisa mengakses pendidikan dan kesehatan dengan memadai. Hidup nyaman tanpa harus berpikir kebingungan besok makan apa. Bahkan masih bisa bermimpi tentang masa depan. Aku sampai pada kesadaran bahwa dunia tidak berputar hanya di sekelilingku. Ada yang lebih besar dariku. Ada banyak perempuan lain yang justru hidup jauh lebih sulit dari kehidupan yang aku jalani. Kesulitan yang dialami bukan karena kebodohan, kemalasan, atau hal-hal lain. Banyak diantaranya karena permasalahan struktural dan sistemik yang bangsat. Menyakitkan memang melihat salah satu murid perempuanku di pelosok sana memilih untuk berhenti sekolah dan menikah di usia yang masih sangat belia. Mendengar seorang ibu yang rela menjadi korban KDRT demi mempertahankan keluarga dan anaknya. Seorang permepuan yang turut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga hingga kehabisan waktu untuk diri sendiri. Serta banyak cerita lain yang sempat aku katakan salah dan tidak ideal dari kaca mata perempuan. Dari sini, jauh-jauhlah rasa angkuh dan sombong. Maka dengan menyadari dan menerima ini sebagai bagian dari kehidupan perempuan hari ini, semoga jadi bahan untuk aku selalu berbuat dan berempatik pada sekitar.

Bergerak Menuju Kehidupan yang Berdaya dan Inklusif: maka sudah seharusnya aku menuju kepada-menjadi manusia yang berdaya. Berdaya dalam berpikir dan bertindak, yang mengedepankan kemanusiaan. Manusiakan manusia!

3 years ago

Terima kasih kepada Mbak Nisa yang bikin river of life nya diwakili oleh lagu-lagu, kayanya sistem yang sama akan aku adposi terus. Karena musik adalah bagian dari perjalanan personalku.

3 years ago

Bu Lastri bikin bubur kacang ijo pake daun pandan, wangi banget. Dia anter semanguk bubur kacang ijo ke kamarku. Sedang aku sibuk dengan banyak sekali laporan assessment anak-anak di klinik. Casual aku putar sambil mandang bubur kacang ijo lekat-lekat, lamat-lamat. Ah. Aku masih harus mensyukuri hari ini. Hamdallah bubur kacang ijonya enak banget.

11 months ago

30 dengan Setengah Alis

Hari ini aku kembali pergi lebih awal untuk berangkat kerja. 05.55 udah rapi dan manasin motor karena seperti biasanya 06.00 aku harus berangkat dari rumah menuju stasiun KRL, supaya dapet kereta jadwal 6.22 arah Tanah Abang. Jam segitu keretanya udah penuh, tapi ga penuh-penuh banget. Kurang lebih setahun ini aku memilih naik KRL karena efektif secara waktu. Kalo bawa motor ngabisin sejam sendiri, belum lagi menghadapi macet disana sini. Naik mobil tentu lebih nyaman, tapi tetep ga menghilangkan macet dan musti bayar tol seuprit yang semahal itu. KRL tentu jauh lebih murah dan cepat, tapi ga nyaman. Selain itu, aku lebih suka ketika punya waktu sejam sebelum pegang klien. Bisa ngaso di office sambil sarapan, nonton, baca artikel, scroll sosmed, atau ya gini, nulis.

Biasanya aku berangkat kerja bareng suami, kantor dia lebih deket dari rumah, yang mana bisa masuk kerja agak siang. Tapi dia lebih sering bertoleransi dengan ikut istrinya berangkat pagi. Sesekali dia nganterin penuh sampe kantor, padahal itungannya bulak balik jauh sekali. Untuk itu aku sering diam-diam bersyukur pas dibonceng dibelakang atau duduk disamping dia yang nyetir sambil nyanyiin playlist Scott Bradlee's Postmodern Jukebox; makasih loh Ya Allah.

Tahun ini, kami sama-sama masuk usia 30 tahun. Anjay 30 bro. Kepala tiga ini sungguh tidak terasa. Pagi itu aku bagun seperti biasanya, agak tickled pink mengingat hari itu aku jadi teteh-teteh umur 30. Lama aku memandangi laki-laki disampingku yang masih merem tapi udah goyang-goyang kaki, tanda dia udah bangun juga. Aku kasih pelukan dan kecupan pertamaku yang juga penuh syukur, makasih ya Allah ternyata aku akan menghabiskan seluruh umurku dengan orang ini.

Aku bangkit dari kasur menuju ke rutinitas pertama, minum air putih dan nimbang berat badan di timbangan digital. Aku bukan tipikal orang yang diet ketat, tapi cukup aware dengan kondisi tubuh. Ketika angka-angka menyembul dari balik layar timbangan, aku juga berterimakasih pada tubuh ini; yang berat badannya gampang turun dan susah naik, masa tulangnya selalu rendah dan lemak di subkutan yang selalu tinggi, juga indeks lain yang hampir selalu ideal. Makasih yang badan, kamu kuat sekali. Tentu saja aku akan bertanggung jawab menjaga kamu untuk jadi lebih sehat dan bugar tiap harinya.

Lalu, saat suamiku yang hilang dari kasur dan terdengar menyalakan kompor di dapur, kupikir dia mulai menyiapkan bekal, ternyata dia kembali naik ke kamar dengan cake di tangan. Skip banget ini orang naro cakenya kapan dan dimana. Meski sepertinya aku meniup lilin dan berdoa, dengan sebelah alis yang belum selesai diukir, aku mensyukuri momen kecil kami ini. Selamat Ulang Tahun Wina.

3 years ago

Terima kasih, Prof

pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati 

pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari

2 years ago

Menyalakan Kembang Api

image

pict: pinterest

Tahun 2022 baru saja berlalu dalam tanggalan ke belakang. Sudah seminggu berlalu dan kalender di dinding menunjukkan angka baru; 2023. 2022 merupakan tahun yang berat dan jungkir balik. Secara fisik dan mental. Aku melewati paruh pertama dengan menjadi pasien seorang psikolog. Semenjak paruh akhir 2021. Tengah tahun 2022, aku tetap konsultasi ke psikolog. Ini hanya sebuah usaha untuk tetap menjadi waras dan untuk menyelamatkan fisikku yang kian hari kian turun berat badan. Selama itu, aku menutup diri dari banyak hal, tapi juga membuka diri pada banyak hal. Ada lubang menganga besar di dadaku yang pun betapa mengangga ia, yang hadir hanyalah kekosongan. 

Pelan-pelan, di paruh akhir tahun 2022, aku mulai kembali merasa hidup. Aku menemukan diriku lagi. Aku menghidupi lagi values yang selama ini aku miliki. Bukan hanya karena usahaku sendiri untuk sembuh, tapi berkat keluarga, teman dan sahabat terdekat yang terus menemani fase berat dalam hidupku. Mereka, secara bergantian membersamai. Ga perlu aku sebut, karena kalian sudah tentu tau dan merasa. Terima kasih banyak. 

Dan, yang padam dalam rongga dada, kini menemukan kembali nyalanya. Aku mulai menyalakan kembang api. Dengan percik sedikit. Dengan hangat yang cukup. Hingga jadi kobar yang membara. Tapi. Cantiknya bak kembang api tahun baru yang aku saksikan di sepanjang tol layang menuju Jakarta. Euforianya akan hilang. Apinya akan padam. Tapi aku tau, bahwa aku sudah dalam pelukan kehangatan yang paling tepat. 

Selamat menempuh 2023 Wina, dengan cinta dan kasih sayang terbaik yang bisa kamu berikan pada semesta.

3 years ago

20/11/21

Kali ini aku masuk kelas virtual dengan terburu-buru, setelah tanpa sengaja ketiduran di ranjang kosan. Sebelum kamera leptop menyala, aku sempatkan memperbaiki riasan sekenanya. Hari ini mata kuliah Pengantar Kesehatan Mental Komunitas dan Disabilitas, dosen tamu kali ini Dr. Bahrul Fuad, MA (niscaya setelah ngecek LinkedIn aku terkagum-kagum dengan profil beliau). Pak Fuad terlahir dengan disabilitas dan hidup menggunakan kursi roda, dan kemarin mengisi kelasku dengan sangat mengagumkan. Kami berbicara tentang konsep dan perspektif disabilitas, diskusi yang terbangun begitu menarik. Aku sangat suka berada di ruang kelas, belajar, dan mengetahui sesuatu yang baru.

disability is “an evolving concept”, but also stresses that “disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others” -  The Preamble to the CRPD

Jika melihat definisi ini, seseorang dikatakan sebagai disabilitas ketika terjadi interaksi antara keterbatasan seseorang baik fisik dan/atau mental dengan hambatan lingkungan dan sikap masyarakat yang menyebabkan dia tidak bisa berpartisipasi dalam masyarakat secara setara. Persoalan disabilitas bukan pada impairment-nya, tapi justru di luar dirinya. Peningkatan partisipasi sosial orang dengan disabilitas dapat dicapai justru dengan mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi penyandang disabilitas dalam kehidupan mereka sehari-hari (hambatan lingkungan dan sikap masyarakat).

Pak Fuad membagi pengalamannya ketika study di Belanda, dia tidak merasa dirinya disabilitas karena ketika ia di Belanda, ia bisa berpartisipasi di masyarakat sebagaimana manusia lainnya. Beliau bisa menggunakan angkutan umum dan mengunjungi tempat-tempat yang dituju dengan mudah, karena lingkungan tidak menghambatnya untuk bergerak dan berpartisipasi. Ketika beliau kembali ke Surabaya, beliau kembali menjadi disabilitas. Cerita lain, ketika Pak Fuad merasa heran karena tidak pernah ada rapat warga di tempat beliau tinggal. Ketika ia bertanya tentang rapat rutin yang mungkin ada, ternyata para tetangga telah bersepakat untuk “memaklumi” kondisi Pak Fuad sehingga dianggap tidak perlu ikut rapat warga. Padahal Pak Fuad sendiri ingin dan bisa untuk ikut bersosialisasi dengan tetangganya. Hmm.

Sudah seharusnya kita mulai melihat disabilitas dengan kacamata yang lebih jernih. Setiap manusia unik, dan pemahaman uniqueness ini perlu ditingkatkan terutama oleh kita yang merasa non-disabilitas. atau yang kadang-kadang ngerasa sempurna tanpa kelemahan.

terakhir ada kutipan milik Pak Fuad yang sangat berkesan sekaligus nyentil ulu hati:

“everything you hear about disability is an opinion, not a fact; and everything you see on disability is only a perspective, not the truth; unless you experience it.  (Bahrul Fuad, 2017)

43 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags