Stay connected to your favorite content
Benotto Centurion Roma
Tadej Pogacar on X
The newest Classic
Baby, you know that dreams, they're for those who sleep Life, it's for us to keep And if I chose the one I'd like to help me through I'd like to make it with you I really think that we could make it, girl (Make it with you - Bread)
Beberapa minggu lalu, aku dan Dargo baru menyelesaikan salah satu project paling dag dig dug setidaknya untukku; bersepeda dari rumah kami di Tangerang Selatan sampai ke Anyer. Google maps menghitung jarak tempuh sekali jalan 130 km, 2 jam 26 menit naik mobil, 3 jam 13 menit kalo naik motor, dan butuh satu hari kalo sambil jalan kaki. Ga ada latihan intensif seperti sebelum TDA, hanya bersepeda rutin mingguan di akhir pekan, tapi aku membulatkan tekad untuk mencoba. Emang suami saya aja agak edan, dan bisa-bisanya saya juga ikutan edan? Kami nyiapin diri tentu saja, fisik, mental dan bekal. Aku ingin mengingat hal-hal yang aku temukan selama project ini berlangsung.
Melatih cadence
Setelah rutin bersepeda 9 bulan ini, aku belajar tentang cadence. Cadence ini merujuk pada jumlah putaran pedal dalam semenit, biasanya pakai ukuran RPM (Rotasi Per Menit), sederhananya cadence bisa dipakai untuk melihat seberapa cepat atau lambat seseorang mengayuh sepeda. Sebelumnya, aku ga pernah mengayuh pakai strategi atau teori apapun, goes ya goes wae sak bisane, sak mampune. Tapi ternyata setelah direfleksikan lagi, lelah sekali ketika harus ngejar Dargo dengan power yang ga sebagus itu, dengan endurance yang ga sebagus itu juga. Maka, pilihan paling bijak adalah dengan memperhatikan jumlah putaran pedalku. Pertama kali aku pakai sensor untuk mengukur cadence ini di perjalanan ke PP Tangsel-Anyer ini. Long story short, Dargo pernah bilang untuk coba pertahankan di 80 RPM. Bodohnya, ku telan saja titah itu dengan berusaha goes di 80 RPM ketika perjalanan pergi ke Anyer. Hasilnya? Pelvic aing ambyar! Kayanya kalau tulang ilium, ischium dan pubisku bisa ngomong, mereka akan berontak dengan sangat. Karena aku merasa terlalu berat, aku turunkan pelan-pelan sesuai kemampuan saat itu. Alhasil, rata-rata cadence PP Tangsel-Anyer di angka 67 RPM dengan max cadence 111 RPM. Minggu berikutnya, avg cadencenya naik ke 72 RPM denga Max 106 RPM. Yha, ga membabi buta, tapi ga terlalu siput juga. Mari kita latihan terus demi mencapai efektif.
Sekedar informasi: umumnya pembalap profesional memiliki rata-rata cadence sekitar 85-100 RPM selama balapan. Katakan saja beberapa bintang Tour de France beberapa tahun terakhir ini, katanya Tadej Pogacar yang terkenal kuat mempertahankan cadence tinggi bahkan di tanjakan curam, rata-ratanya 90-100 RPM. Ga jauh beda sama rivalnya Jonas Vingegaard, atau pembalap serba bisa, Wout van Aert (mari berdoa dia cepet pulih setelah kecelakaan di race baru-baru ini) bisa di 85-95 RPM. Rata-rata ini dipertahankan selama balapan yang berjam-jam itu. Ah mari kita sudahi khotbah cadence ini. Semoga ada mustami dan jamaah online yang mengamini. (source: https://www.procyclingstats.com)
Membaca sosial
Kami mengambil rute yang berbeda ketika pergi dan pulang, kami pergi melalui jalur tengah, sehingga jalanan cenderung lebih kecil, aspalnya ga mulus-mulus amat, jika beruntung kami akan disuguhi kebun dan sawah di kiri kanan jalan. Kenapa beruntung? Karena keberuntungan ga selamanya tjoy! Sepanjang jalan aku melintasi banyak nama daerah. Biasanya aku akan melirik ke spanduk-spanduk warung madura yang menuliskan alamat singkat; Balaraja, Kragilan, Ciruas, Serang, Cilegon, Anyer. Aku melintasi tiap daerahnya seperti tengah melihat adegan film silih berganti dengan cepat. Aku melihat begitu banyak manusia dan adegan-adegan sosial yang menyertainya: para petani keluar rumah dengan sepeda besinya sambil membawa gulungan di pundak. Ibu-ibu berdaster membakar sampah di pinggir jalan raya (sumpah adegan ini terus berulang, dengan aktor dan setting lokasi yang berbeda), pasar dengan orang-orang meringsek berdesakan hingga bersepeda disekitarnya jadi jauh dari kata menyenangkan. Anak-anak kecil yang menganga tiap kali sepeda kami lewat, dengan mata nyaris melompat dari kelopaknya karena mengira sepeda kami kelewat keren. Di balik tikungan lain, aku memasuki kawasan industri yang panas, berasap, dan mendidih di ubun-ubun. Supir-supir truk yang kelewat kesal dengan menekan klakson panjang-panjang di tanjakan yang berdebu. Kesibukan semua orang di tengah ekonomi yang begini. Juga kami yang begini di atas sepeda, jauh dari rumah. Sejujurnya perjalanan pulang lebih membosankan dan monoton, karena kami memilih jalur Pantura - yang ya bisa ditebak dan dibayangkan
Merefleksikan pernikahan dan relasi personal
Secara durasi, kami menempuh hampir 12 jam di atas sepeda (11 jam 55 menit) untuk PP Tangsel-Anyer. Bagiku, 12 jam bersepeda tanpa mendengarkan musik, kuping polosan hanya mendengar irama alam (aelah). Tentu saja punya banyak waktu untuk bengong bego ga mikirin apa-apa, atau justru jadi 12 jam paling hening, dan hanya ada aku dan diriku. Terkadang, ketika aku copot agak jauh dari Dargo, biasanya ketika tanjakan. Aku selalu merasa bersepeda adalah salah satu aktivitas paling sepi, dan ada semacam kesepian yang menyergap. Tentu saja selain penderitaan fisik, didera kesepian juga bagian dari penderitaan mental. Tapi, kalo kata Nietzsche “to live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering. Lebih puitis dari itu, Khalil Gibran nulis “out of suffering have emerged the strongest souls; the most massive characters are seared with scars”. Apakah dengan menyiksa diri pas sepedahan, aku benar-benar menjadi lebih kuat? Ah aku ga pernah berusaha menjawab, karena aku selalu merasa masih lemah. Ah intinya, rasa sunyi dalam penderitaan ini membuatku memikirkan banyak hal, salah satunya; pernikahan.
Setidaknya sejauh ini, dari pernikahanku yang baru seumur jagung (setidaknya 4 kali nanem dan panen jagung); aku melihat perjalanan bersepedaku laiknya pernikahan. Kami bersiap sebelum berangkat, menentukan berbagai macam alternatif rute, menyiapkan bekal, melatih diri dan mental, bahkan butuh setidaknya ilmu tentang bersepeda. Ketika datang hari kami bersepeda berdua, ada banyak tanjakkan dan turunan, yang tajam pun yang biasa saja. Ada banyak waktu yang berat, tapi ada juga istirahat. Salah satu yang aku pikirkan kala “kesepian” dalam kayuhan yang berat. Menikah – sebagiamana bersepeda bersama – butuh dua orang yang sudah siap dengan sepedanya masing-masing. Sebelum aku sepakat ikut bersepeda jarak jauh, aku sudah seharusnya memahami sepedaku, caraku bersepeda, tau kekuatan dan batasanku. Karena jika tidak, aku hanya akan tertinggal, kelelahan, bahkan ga akan bisa menyamai – mengikuti – mendampingi partner bersepedaku. Setelah selesai dengan sepeda masing-masing, bisakah aku bekerja sama membuat perjalanan ini lebih mudah dan menyenangkan? Bisakah aku memahami kelelahan satu sama lain? Bisakah aku mengatur kecepatan agar long ride ini tidak begitu babak belur menimbulkan cidera disana sini? Setelah sampai di tujuan, kemana lagi kita pergi? Perlu berisitirahat, membersihkan diri, mencuci sepeda sambil meredakan nyeri otot. Aku rasa, pernikahan, memiliki semua itu, laiknya - bersepeda - berdua - jarak jauh. Entahlah, mungkin nanti bersepeda akan menemukan makna dan rasa baru. Kami hanya bahagia ketika bersepeda.
5 September 2024 Setu, Tangerang Selatan Pesepeda amatir yang sedang bertahan dari tekanan kenaikan pajak, iuran, harga kebutuhan pokok, hingga wacana penyesuaian tarif KRL berbasis NIK.
I discovered my love for cycling when I met Dargo. At the time, he was just someone I knew, and I never imagined I would end up marrying him. Getting to know Dargo also meant getting to know cycling, a passion he had pursued regularly for several years before we got married. I began watching European cyclists glide beautifully through green mountains and snowy hills. Naturally, I was captivated and wondered if I could ever do something like that.
After we got married, I decided to share a hobby with Dargo and give cycling a try. I chose it for myself, not because my husband pressured me—Dargo has never forced me into anything.
On December 26, 2023, I bought a Twitter Cyclon Pro Disc R7000-22S bike in black and red. After discussing it with my husband, we decided this would be my first bike. The main factor was its affordability at the time, combined with its full carbon frame and Shimano 105 groupset. Despite one drawback—the bike was still a bit too large for me—it was the best option for us.
In early January 2024, I began my journey as an amateur cyclist. I started getting used to my new bike, beginning with my first 50 kilometers, then 70 kilometers, and eventually my first 100 kilometers. I still vividly remember my first 100 kilometers; I took the route from South Tangerang to Bogor, riding back and forth from home. Anjay rada gelo!
Eight months after buying my road bike, I decided to participate in a race in July 2024. I joined the Tour de Ambarukkmo in Yogyakarta in the regular category, covering 128 kilometers. Of course, with various adjustments to make the bike fit my body. It was an exhilarating experience, especially since I typically only cycled once a week on weekends. But I prepared as best as I could, training enough and learning to understand my body. In the end, I completed the Tour de Ambarukkmo. Though it was exhausting, I was filled with pride—a feeling of abundance.
Cycling, like running, is more than just a sport for me. These activities are my way of connecting with my body and the world around me. When I cycle or run, I focus on feeling my body, muscles, breath, and heartbeat. I learn to recognize pain and fatigue. I become fully aware of my body, knowing when to stop and when I can keep going. When cycling, I often clear my mind. I never listen to music while riding; instead, I prefer to hear the rhythm of my breath, the sounds around me, and the wind rushing against my body as I descend hills or climb slopes.
I can’t recall exactly when I fell in love with cycling, but I’ve come to realize that it has become one of my most meaningful routines. When I miss a ride, something feels off and different. Perhaps, at this point, cycling has become an essential part of who I am.
Tangerang, 23 Agustus 2024
tour du var