winarasidi - ME!

winarasidi

ME!

43 posts

Latest Posts by winarasidi

winarasidi
9 months ago

260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer yang Sepi di Mata Pesepeda Amatir

Baby, you know that dreams, they're for those who sleep Life, it's for us to keep And if I chose the one I'd like to help me through I'd like to make it with you I really think that we could make it, girl (Make it with you - Bread)

Beberapa minggu lalu, aku dan Dargo baru menyelesaikan salah satu project paling dag dig dug setidaknya untukku; bersepeda dari rumah kami di Tangerang Selatan sampai ke Anyer. Google maps menghitung jarak tempuh sekali jalan 130 km, 2 jam 26 menit naik mobil, 3 jam 13 menit kalo naik motor, dan butuh satu hari kalo sambil jalan kaki. Ga ada latihan intensif seperti sebelum TDA, hanya bersepeda rutin mingguan di akhir pekan, tapi aku membulatkan tekad untuk mencoba. Emang suami saya aja agak edan, dan bisa-bisanya saya juga ikutan edan? Kami nyiapin diri tentu saja, fisik, mental dan bekal. Aku ingin mengingat hal-hal yang aku temukan selama project ini berlangsung.

260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer Yang Sepi Di Mata Pesepeda Amatir

Melatih cadence

Setelah rutin bersepeda 9 bulan ini, aku belajar tentang cadence. Cadence ini merujuk pada jumlah putaran pedal dalam semenit, biasanya pakai ukuran RPM (Rotasi Per Menit), sederhananya cadence bisa dipakai untuk melihat seberapa cepat atau lambat seseorang mengayuh sepeda. Sebelumnya, aku ga pernah mengayuh pakai strategi atau teori apapun, goes ya goes wae sak bisane, sak mampune. Tapi ternyata setelah direfleksikan lagi, lelah sekali ketika harus ngejar Dargo dengan power yang ga sebagus itu, dengan endurance yang ga sebagus itu juga. Maka, pilihan paling bijak adalah dengan memperhatikan jumlah putaran pedalku. Pertama kali aku pakai sensor untuk mengukur cadence ini di perjalanan ke PP Tangsel-Anyer ini. Long story short, Dargo pernah bilang untuk coba pertahankan di 80 RPM. Bodohnya, ku telan saja titah itu dengan berusaha goes di 80 RPM ketika perjalanan pergi ke Anyer. Hasilnya? Pelvic aing ambyar! Kayanya kalau tulang ilium, ischium dan pubisku bisa ngomong, mereka akan berontak dengan sangat. Karena aku merasa terlalu berat, aku turunkan pelan-pelan sesuai kemampuan saat itu. Alhasil, rata-rata cadence PP Tangsel-Anyer di angka 67 RPM dengan max cadence 111 RPM. Minggu berikutnya, avg cadencenya naik ke 72 RPM denga Max 106 RPM. Yha, ga membabi buta, tapi ga terlalu siput juga. Mari kita latihan terus demi mencapai efektif. 

Sekedar informasi: umumnya pembalap profesional memiliki rata-rata cadence sekitar 85-100 RPM selama balapan. Katakan saja beberapa bintang Tour de France beberapa tahun terakhir ini, katanya Tadej Pogacar yang terkenal kuat mempertahankan cadence tinggi bahkan di tanjakan curam, rata-ratanya 90-100 RPM. Ga jauh beda sama rivalnya Jonas Vingegaard, atau pembalap serba bisa, Wout van Aert (mari berdoa dia cepet pulih setelah kecelakaan di race baru-baru ini) bisa di 85-95 RPM. Rata-rata ini dipertahankan selama balapan yang berjam-jam itu. Ah mari kita sudahi khotbah cadence ini. Semoga ada mustami dan jamaah online yang mengamini. (source: https://www.procyclingstats.com) 

Membaca sosial

Kami mengambil rute yang berbeda ketika pergi dan pulang, kami pergi melalui jalur tengah, sehingga jalanan cenderung lebih kecil, aspalnya ga mulus-mulus amat, jika beruntung kami akan  disuguhi kebun dan sawah di kiri kanan jalan. Kenapa beruntung? Karena keberuntungan ga selamanya tjoy! Sepanjang jalan aku melintasi banyak nama daerah. Biasanya aku akan melirik ke spanduk-spanduk warung madura yang menuliskan alamat singkat; Balaraja, Kragilan, Ciruas, Serang, Cilegon, Anyer. Aku melintasi tiap daerahnya seperti tengah melihat adegan film silih berganti dengan cepat. Aku melihat begitu banyak manusia dan adegan-adegan sosial yang menyertainya: para petani keluar rumah dengan sepeda besinya sambil membawa gulungan di pundak. Ibu-ibu berdaster membakar sampah di pinggir jalan raya (sumpah adegan ini terus berulang, dengan aktor dan setting lokasi yang berbeda), pasar dengan orang-orang meringsek berdesakan hingga bersepeda disekitarnya jadi jauh dari kata menyenangkan. Anak-anak kecil yang menganga tiap kali sepeda kami lewat, dengan mata nyaris melompat dari kelopaknya karena mengira sepeda kami kelewat keren. Di balik tikungan lain, aku memasuki kawasan industri yang panas, berasap, dan mendidih di ubun-ubun. Supir-supir truk yang kelewat kesal dengan menekan klakson panjang-panjang di tanjakan yang berdebu. Kesibukan semua orang di tengah ekonomi yang begini. Juga kami yang begini di atas sepeda, jauh dari rumah. Sejujurnya perjalanan pulang lebih membosankan dan monoton, karena kami memilih jalur Pantura - yang ya bisa ditebak dan dibayangkan

Merefleksikan pernikahan dan relasi personal

Secara durasi, kami menempuh hampir 12 jam di atas sepeda (11 jam 55 menit) untuk PP Tangsel-Anyer. Bagiku, 12 jam bersepeda tanpa mendengarkan musik, kuping polosan hanya mendengar irama alam (aelah). Tentu saja punya banyak waktu untuk bengong bego ga mikirin apa-apa, atau justru jadi 12 jam paling hening, dan hanya ada aku dan diriku. Terkadang, ketika aku copot agak jauh dari Dargo, biasanya ketika tanjakan. Aku selalu merasa bersepeda adalah salah satu aktivitas paling sepi, dan ada semacam kesepian yang menyergap. Tentu saja selain penderitaan fisik, didera kesepian juga bagian dari penderitaan mental. Tapi, kalo kata Nietzsche “to live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering. Lebih puitis dari itu, Khalil Gibran nulis “out of suffering have emerged the strongest souls; the most massive characters are seared with scars”. Apakah dengan menyiksa diri pas sepedahan, aku benar-benar menjadi lebih kuat? Ah aku ga pernah berusaha menjawab, karena aku selalu merasa masih lemah. Ah intinya, rasa sunyi dalam penderitaan ini membuatku memikirkan banyak hal, salah satunya; pernikahan. 

260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer Yang Sepi Di Mata Pesepeda Amatir
260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer Yang Sepi Di Mata Pesepeda Amatir

Setidaknya sejauh ini, dari pernikahanku yang baru seumur jagung (setidaknya 4 kali nanem dan panen jagung); aku melihat perjalanan bersepedaku laiknya pernikahan. Kami bersiap sebelum berangkat, menentukan berbagai macam alternatif rute, menyiapkan bekal, melatih diri dan mental, bahkan butuh setidaknya ilmu tentang bersepeda. Ketika datang hari kami bersepeda berdua, ada banyak tanjakkan dan turunan, yang tajam pun yang biasa saja. Ada banyak waktu yang berat, tapi ada juga istirahat. Salah satu yang aku pikirkan kala “kesepian” dalam kayuhan yang berat. Menikah – sebagiamana bersepeda bersama – butuh dua orang yang sudah siap dengan sepedanya masing-masing. Sebelum aku sepakat ikut bersepeda jarak jauh, aku sudah seharusnya memahami sepedaku, caraku bersepeda, tau kekuatan dan batasanku. Karena jika tidak, aku hanya akan tertinggal, kelelahan, bahkan ga akan bisa menyamai – mengikuti – mendampingi partner bersepedaku. Setelah selesai dengan sepeda masing-masing, bisakah aku bekerja sama membuat perjalanan ini lebih mudah dan menyenangkan? Bisakah aku memahami kelelahan satu sama lain? Bisakah aku mengatur kecepatan agar long ride ini tidak begitu babak belur menimbulkan cidera disana sini? Setelah sampai di tujuan, kemana lagi kita pergi? Perlu berisitirahat, membersihkan diri, mencuci sepeda sambil meredakan nyeri otot. Aku rasa, pernikahan, memiliki semua itu, laiknya - bersepeda - berdua - jarak jauh. Entahlah, mungkin nanti bersepeda akan menemukan makna dan rasa baru. Kami hanya bahagia ketika bersepeda. 

5 September 2024 Setu, Tangerang Selatan Pesepeda amatir yang sedang bertahan dari tekanan kenaikan pajak, iuran, harga kebutuhan pokok, hingga wacana penyesuaian tarif KRL berbasis NIK.


Tags
winarasidi
10 months ago

When I Fell in Love with Cycling

I discovered my love for cycling when I met Dargo. At the time, he was just someone I knew, and I never imagined I would end up marrying him. Getting to know Dargo also meant getting to know cycling, a passion he had pursued regularly for several years before we got married. I began watching European cyclists glide beautifully through green mountains and snowy hills. Naturally, I was captivated and wondered if I could ever do something like that.

After we got married, I decided to share a hobby with Dargo and give cycling a try. I chose it for myself, not because my husband pressured me—Dargo has never forced me into anything.

On December 26, 2023, I bought a Twitter Cyclon Pro Disc R7000-22S bike in black and red. After discussing it with my husband, we decided this would be my first bike. The main factor was its affordability at the time, combined with its full carbon frame and Shimano 105 groupset. Despite one drawback—the bike was still a bit too large for me—it was the best option for us.

When I Fell In Love With Cycling

In early January 2024, I began my journey as an amateur cyclist. I started getting used to my new bike, beginning with my first 50 kilometers, then 70 kilometers, and eventually my first 100 kilometers. I still vividly remember my first 100 kilometers; I took the route from South Tangerang to Bogor, riding back and forth from home. Anjay rada gelo!

Eight months after buying my road bike, I decided to participate in a race in July 2024. I joined the Tour de Ambarukkmo in Yogyakarta in the regular category, covering 128 kilometers. Of course, with various adjustments to make the bike fit my body. It was an exhilarating experience, especially since I typically only cycled once a week on weekends. But I prepared as best as I could, training enough and learning to understand my body. In the end, I completed the Tour de Ambarukkmo. Though it was exhausting, I was filled with pride—a feeling of abundance.

When I Fell In Love With Cycling
When I Fell In Love With Cycling

Cycling, like running, is more than just a sport for me. These activities are my way of connecting with my body and the world around me. When I cycle or run, I focus on feeling my body, muscles, breath, and heartbeat. I learn to recognize pain and fatigue. I become fully aware of my body, knowing when to stop and when I can keep going. When cycling, I often clear my mind. I never listen to music while riding; instead, I prefer to hear the rhythm of my breath, the sounds around me, and the wind rushing against my body as I descend hills or climb slopes.

When I Fell In Love With Cycling
When I Fell In Love With Cycling

I can’t recall exactly when I fell in love with cycling, but I’ve come to realize that it has become one of my most meaningful routines. When I miss a ride, something feels off and different. Perhaps, at this point, cycling has become an essential part of who I am.

Tangerang, 23 Agustus 2024


Tags
winarasidi
11 months ago

30 dengan Setengah Alis

Hari ini aku kembali pergi lebih awal untuk berangkat kerja. 05.55 udah rapi dan manasin motor karena seperti biasanya 06.00 aku harus berangkat dari rumah menuju stasiun KRL, supaya dapet kereta jadwal 6.22 arah Tanah Abang. Jam segitu keretanya udah penuh, tapi ga penuh-penuh banget. Kurang lebih setahun ini aku memilih naik KRL karena efektif secara waktu. Kalo bawa motor ngabisin sejam sendiri, belum lagi menghadapi macet disana sini. Naik mobil tentu lebih nyaman, tapi tetep ga menghilangkan macet dan musti bayar tol seuprit yang semahal itu. KRL tentu jauh lebih murah dan cepat, tapi ga nyaman. Selain itu, aku lebih suka ketika punya waktu sejam sebelum pegang klien. Bisa ngaso di office sambil sarapan, nonton, baca artikel, scroll sosmed, atau ya gini, nulis.

Biasanya aku berangkat kerja bareng suami, kantor dia lebih deket dari rumah, yang mana bisa masuk kerja agak siang. Tapi dia lebih sering bertoleransi dengan ikut istrinya berangkat pagi. Sesekali dia nganterin penuh sampe kantor, padahal itungannya bulak balik jauh sekali. Untuk itu aku sering diam-diam bersyukur pas dibonceng dibelakang atau duduk disamping dia yang nyetir sambil nyanyiin playlist Scott Bradlee's Postmodern Jukebox; makasih loh Ya Allah.

Tahun ini, kami sama-sama masuk usia 30 tahun. Anjay 30 bro. Kepala tiga ini sungguh tidak terasa. Pagi itu aku bagun seperti biasanya, agak tickled pink mengingat hari itu aku jadi teteh-teteh umur 30. Lama aku memandangi laki-laki disampingku yang masih merem tapi udah goyang-goyang kaki, tanda dia udah bangun juga. Aku kasih pelukan dan kecupan pertamaku yang juga penuh syukur, makasih ya Allah ternyata aku akan menghabiskan seluruh umurku dengan orang ini.

Aku bangkit dari kasur menuju ke rutinitas pertama, minum air putih dan nimbang berat badan di timbangan digital. Aku bukan tipikal orang yang diet ketat, tapi cukup aware dengan kondisi tubuh. Ketika angka-angka menyembul dari balik layar timbangan, aku juga berterimakasih pada tubuh ini; yang berat badannya gampang turun dan susah naik, masa tulangnya selalu rendah dan lemak di subkutan yang selalu tinggi, juga indeks lain yang hampir selalu ideal. Makasih yang badan, kamu kuat sekali. Tentu saja aku akan bertanggung jawab menjaga kamu untuk jadi lebih sehat dan bugar tiap harinya.

Lalu, saat suamiku yang hilang dari kasur dan terdengar menyalakan kompor di dapur, kupikir dia mulai menyiapkan bekal, ternyata dia kembali naik ke kamar dengan cake di tangan. Skip banget ini orang naro cakenya kapan dan dimana. Meski sepertinya aku meniup lilin dan berdoa, dengan sebelah alis yang belum selesai diukir, aku mensyukuri momen kecil kami ini. Selamat Ulang Tahun Wina.

winarasidi
1 year ago

Merawat Ingatan

Terhitung sejak 28 Januari 2024, kami sekeluarga menjalani hari-hari yang berat. Ibu, Ibu mertua jatuh sakit dengan kondisi yang cukup serius sampai harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU). Saat ini kondisinya alhamdulillah membaik, menjalani perawatan di rumah bersama anak-anaknya. Semoga kondisi ibu terus membaik dan pulih.

Selama menjalani perawatan, aku melihat betapa kami, keluarga, menepis rasa lelah. Masgo dan adik-adik bergantian menjaga dan menemani ibu siang dan malam. Bagiku pribadi, yang membuat lelah adalah melihat Ibu terbaring sakit dan sendirian di ruangan HCU pun ICU. Memikirkan bagaimana disamping kesakitan yang dialami, Ibu mungkin saja merasa kesepian. Hanya bisa bertemu anaknya yang secara bergantian di jam makan atau besuk saja. Tentu saja, momen ini membawa kembali ingatanku ketika merawat Bapak di ruang isolasi Covid tahun 2021. Beratnya. Sesaknya. Aku rasakan kembali ketika menemani Ibu mertua saat ini. Belum selesai dengan perasaan ini, aku jatuh sakit karena Covid tepat di tengah kami semua sedang menjaga ibu yang masih tergolek di ICU. Isoman ga bisa dihindari. Aku merasa amat sedih karena tidak bisa ikut membantu adik-adik menemani ibu di rumah sakit. Tapi yang lebih sedih, menerima kenyataan bahwa aku ikut merampas waktu suamiku untuk menemani ibunya, karena harus turut isoman denganku saat itu.

Merawat Ingatan
Merawat Ingatan

Di tengah isoman, kami berdua mencoba untuk tetap bisa menemani keluarga meski jarak jauh. Hal-hal kecil yang bisa kami lakukan salah satunya dengan memasak. Memasak jadi salah satu hiburan untukku, mungkin juga suamiku. Untuk mengurangi rasa sesal kami yang mendalam. Kami bisa mengirim makanan ke rumah, supaya adik-adik bisa ikut makan. Karena kerja perawatan, kadang membuat orang lupa untuk makan dan tidur tepat waktu. Meski ketika mengantar masakan, aku hanya bisa saling lambai di depan pagar rumah dengan anggota keluarga yang lain.

Merawat Ingatan

Ada satu momen ketika aku dan Masgo  bertukar pesan via whatsapp. Aku tengah bekerja dan absen untuk menemani ibu di RS. Betapa patah hati menerima pesan dengan nada sedih dari suamiku. Jarang sekali kami membagikan rasa sedih via pesan singkat. Dia patah hati, dan aku juga patah hati.

Untuk Masgo dan adik-adik yang paling aku sayangi; Terima kasih karena selalu ada untuk Ibu. Karena tetap bertahan dan mengambil keputusan-keputusan berani (yang terkadang sulit) dalam mendampingi ibu di kala sakitnya. Lorong-lorong rumah sakit, bunyi mesin dan kabel medis jadi saksi bakti dan cinta kalian untuk Ibu. Insya Allah kita akan sama-sama melewati ini. Segalanya hanya dengan izin Allah SWT.

Allāhumma rabban nāsi, adzhibil ba’sa. Isyfi. Antas syāfi. Lā syāfiya illā anta syifā’an lā yughādiru saqaman.

Ciledug, 16 Februari 2024

winarasidi
1 year ago

Tentang Menikah

Boleh jadi, menikah adalah keputusan terbesar yang pernah aku ambil, mengingat konsekuensinya mempengaruhi hampir sebagian besar hidupku. Keputusan-keputusan lain seperti memilih tempat kerja, menjadi relawan, mengambil job sampingan, pergi merantau, mereka juga keputusan besar, tapi tidak sebesar menikah.

jujur panas dan serab banget buat ambil foto outdoor :(

Tidak ada pernikahan impian yang aku miliki. Berniat menikah dengan pesta kecil dihadiri keluarga dan sahabat saja tidak bisa dilakukan. Tentu saja karena beberapa pertimbangan, pestanya harus menjadi lebih besar dari keinginanku. Tetap bersyukur; setidaknya aku, suami, keluarga kami bahagia dengan pesta itu. Karena tidak ada wedding dream laiknya muda mudi umum. Proses pernikahan kami termasuk cepat, dan bisa masuk ke kategori sat-set, a.k.a kami berdua mageran untuk ngeribetin diri, fafifu wasweswos, hampir banyak dari vendor yang dipilih tidak lebih dari hitungan menit. Dahlah, manusia punya standar masing-masing, dan standar kami adalah yha begini wkwkwk

Dalam minggu yang sama menjelang pernikahan, aku menghadapi dua momen besar; sidang tesis di hari Senin, menikah di hari Sabtu. Senin malamnya Masgo masuk rumah sakit dan harus di rawat tiga malam ke depannya. Anehnya, aku masih dalam kondisi oke, engga panik, dan santai aja. Maksudku, aku dalam posisi sadar bahwa aku butuh diriku aware bahwa satu-satu harus dilewati. Jika Senin aku harus sadar diri ada tesis yang harus dirampungkan, maka malam-malam berikutnya aku sadar diri ada Masgo yang perlu ditemani untuk segera sembuh. Tiba di haru Sabtu, ya aku sadar diri bahwa hari itu adalah hari pernikahanku. Sudah itu saja. Lelah rasanya jika terus menerus mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Oh mungkin ini skill baru yang aku pelajari karena terpaksa harus hidup mendewasa.

bukan flexing akademis :(
nemenin Masgo mam makanan pasien :(

Setelah pernikahan selesai, aku sangat-sangat beruntung dan bersyukur. Melihat keluarga, teman-teman, kolega, bahkan guru-guru yang sangat aku hormati menyempatkan hadir. Aku merasa sangat diberkati dengan doa dan kedatangan mereka. Pun mereka yang tidak sempat datang, doa baik dan tulus yang berdatangan ga ada habisnya aku syukuri. Belum lagi kado-kado pernikahan. Ah terberkatilah orang-orang baik di sekelilingku.

Tentang Menikah

Baikah, anggap saja aku baru membuka salah satu pintu gerbang, menuju perjalanan tanpa batas yang pasti ada batasnya; kematian. Aku memutuskan untuk menikahi dan dinikah Masgo, yang mana penikahan ini hanya akan berakhir ketika salah satu diantara kami mati. Pernikahannya berakhir, perjalannya abadi. Mari berbagi lagi diberbagai kesempatan baik dan buruk, pahit dan manis, kehidupanku ke depan.

winarasidi
1 year ago

Jika suatu hari datang yang berbeda: Kami Sepakat untuk Tidak Sepakat

Ga lama lagi aku akan menikahi dan dinikahi seorang laki-laki yang datangnya entah bagaimana tanpa banyak drama. Hidupku sudah lebih dari cukup soal drama romantis amburadul yang dijalani bertahun-tahun lamanya. Maka cerita yang mengalir biasa saja jadi terasa lebih cocok untuku saat ini. Tulisan ini tentu saja untuk Masgo yang entah kenapa aku merasa sangat bersyukur memilih dia. Penuh.

Jika Suatu Hari Datang Yang Berbeda: Kami Sepakat Untuk Tidak Sepakat
Jika Suatu Hari Datang Yang Berbeda: Kami Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Ada banyak hal yang kami diskusikan sebelum akhirnya memutuskan untuk saling menikahi. Ada banyak hal yang kami sepakati soal hidup, masa lalu, masa kini, dan masa depan. Yang tentu saja tidak mudah adalah menghadapi ketidaksepakatan. Niscaya itu akan terus terjadi selama kami hidup saling menemani ke depan. Maka tidak apa jika kita tidak sepakat pada satu dan dua. Karena apapun bentuknya, kami akan saling menghormati satu sama lain. Tentu ketidaksepakatan ini memiliki batasan yang jelas, kalaupun belum jelas, maka selalu ada ruang diskusi yang pasti terbuka untuk kami berdua berkompromi.

Jika Suatu Hari Datang Yang Berbeda: Kami Sepakat Untuk Tidak Sepakat
Jika Suatu Hari Datang Yang Berbeda: Kami Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Masgo, karena bahasa kasihku berbeda denganmu, makasih ya untuk setiap potongan daging yang lebih besar, lebih banyak, yang selalu kamu letakan di piringku setiap kali kita makan. Untuk setiap kesempatan kamu membawakan tasku, mau yang besar pun yang kecil tanpa harus bertanya. Untuk kerelaan hati melewati Pamulang yang macetnya bikin sakit ubun-ubun, dan pemotornya begitu percaya diri keluar gang tanpa tengok kiri kanan. Makasih karena selalu ga percaya aku yang baca maps kalo pergi, karena baca maps adalah tugas mengerikan untukku. Makasih untuk setiap playlist yang sengaja kamu susun. Karena selalu bertanya pendapatku soal apapun, aku tau semua itu adalah bentukmu menghormati dan menghargaiku sebagai individu, sebagai pasangan. Karena selalu punya sisi tegas untuk megambil sikap, aku belajar darimu. Untuk setiap aku yang tidak mau jadi kuat untuk buka botol minum, lalu kamu bersungut-sungut soat feminisme, aku juga akan terus tertawa dan berterima kasih untuk itu. Ada hutang bacaan yang belum aku tuntaskan sampai hari ini, sengaja aku pending, supaya bisa aku baca nanti ketika kamu benar-benar disampingku. ANJAY. INI BOONG HAHAHA yang benernya aku ga sempet baca aja 3 buku rekomendasimu hehe.

Maka menikahimu, hanya tinggal sebentar lagi


Tags
winarasidi
2 years ago

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Naya adalah orang yang hobinya berbuat baik sama orang lain. Celetukan banyol yang sebenarnya serius selalu aku lontarkan ketika ketemu Naya adalah perkara “aing ngiri siah sama mane, mane temennya banyak”. Meskipun aku ga pernah benar-benar mengukur secara kuantitas. Tapi sebagaimana Naya dikenal oleh banyak orang, dia memang hobi ngumpulin temen. Tiap tikungan, tongkrongan, ada temennya Naya. Becanda, tapi emang ini berlebihan.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik
#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Naya temen aku yang hobinya makan

Selama kurang lebih 16 tahun kami berteman, naik turun kehidupan kami masing-masing udah khatam satu sama lain. Salah satu yang aku syukuri adalah, dalam pertemanan kami, kami ga pernah marahan, ngambekan, bertengkar, itu ga pernah ada di kamus kami. Mungkin kami berdua sudah sepakat tanpa hitam di atas putih, bahwa senyelekit apapun kritik, bisa dilontarkan masing-masing kami. Misalnya, ketika aku sungguh sangat bodoh dalam hal mengingat sesuatu, melakukan hal-hal simpel, Naya bisa dengan enteng bilang bahwa aku goblok. Tentu saja ga ada persaan marah. Karena emang iya hahahaha

Sebelum aku bisa bawa kendaraan sendiri, Naya adalah supir pribadiku. Di Bandung, Di Jakarta. Tentu saja tidak cuma-cuma, karena aku udah pasti jadi sugar mommy nya Naya. Ada satu waktu kerjaanku hanya bayarin bill nya si Naya, tapi ada satu waktu Naya sugih banget dan jadi sugar mommy nya Wina. Begitulah kami, temenan sejak dari urusan finansial hahahaha bengek.

Naya, segimanapun mulutnya perlu sekolah lagi, sekolah tata krama versi norma sosial, versiku tentu saja ga perlu. Aku bisa bersaksi, bahwa jauh di dalam sana, dia punya hati yang sangat hangat. Sangat hangat. Dia peduli banget sama orang lain. Dia bisa punya begitu banyak teman dengan kualitas pertemanan yang terjaga. Aku gatau kenapa bisa? Coba tanya Naya soal tips and tricks #menjaditemansemuaorang

Pernah pada suatu periode, aku mengalami kemunduran yang sangat dalam hidup. Aku sakit secara fisik dan mental. Aku kehilangan 7 kilo berat badan dalam satu waktu. Banyak, banyak teman-teman di sekelilingku turut membantu pemulihanku. Naya salah satunya yang berjasa besar membantuku pulih dari kondisi yang berat saat itu. Aku mengisolasi diri. Iya gengs, aku yang cerah ceria penuh energi ini pernah menghadapi fase seterpuruk itu. Depresi. Naya, dengan kehangatan hatinya, nyamperin aku ke Pamulang. Lebih dari seminggu nemenin di Pamulang, padahal dia tinggal dan bekerja di Bandung. Rela nemenin aku di sini. Dengerin aku yang tiap sebelum tidur isinya cuman nangis dan sambat. Sampe dia berhasil bawa aku keluar dari kosan, ngajak makan, jajan, dan akhirnya aku pulih. Naya, nuhun banget soal ini, urang mungkin ga pernah bilang, tapi kalo ga ada maneh saat itu, Wina hari ini teuing apa bentukannya. Remeh rangginang cigana. Karena Allah, kirim Naya untuk aku pulih, aku sangat sangat bersyukur untuk itu.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik
#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Cape banget, mirror neuron tiap kali pake baju, tydac perlu janjian niscaya HAH HOH HAH HOH NAHA BAJU KOK SAMA

Nay, aku tau apa yang jadi kekhawatiran kamu hari ini. Aku sangat mengerti. Tapi ini bukan ajakan untuk melupakan kekhawatiran itu. Aku juga ga akan bilang kalo ini mudah, atau ini bukan sesuatu yang harus dipikirin, atau bilang jangan lebay. Engga. Aku ga akan bilang hal-hal semacam itu. Karena aku tau, perasaan-perasaan, rasa takut, kekhawatiran yang tengah kamu hadapi adalah valid. Kamu sangat berhak merasakan kesedihan itu. Gapapa, sedih aja sebanyak yang maneh mau. Marah aja semau yang maneh bisa. Aku seperti biasa ada di sekitar, yang bisa kapan aja bilang “hayuk” tanpa mikir dua kali.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik
#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Semoga kita segera tobat dari FOMO terhadap kehidupan duniawi, dan selalu berusaha untuk urusaan ukhrowi ~~~

Selamat ulang tahun Naya, setiap harinya kita ga akan pernah menjadi orang yang sama. Kita berdua akan selalu berubah, dengan peran baru, dengan tugas dan tujuan baru. Tapi kita berdua sadar itu, bahwa teman kita akan selalu bertumbuh, diri kita juga akan selalu bertumbuh. Yang perlu selalu kita ingat, dan ini aku dapatkan selama aku temenan sama kamu adalah: selalu jadi orang baik, selalu jadi teman baik.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Kita hadapi sama-sama periode akhir 20an ini yak Nay, tabungan kita masih banyak nih buat dipake makan enak dan tidur nyenyak. Doa buat Naya akan aku panjatkan dalam privat. Makasih Naya udah mau (terus) jadi temen baikku. Makasih Naya udah ngajarin salah satu value hidup yang akan aku pake terus dalam hidup, dalam berbagai peran yang aku punya; jadi baik.

Pamulang, 27 Juni 2023

Aku sertakan, Hindia, untuk Naya


Tags
winarasidi
2 years ago

Refleksi IWD 2023: Untuk diriku

Selamat Hari Perempuan Internasional! Biasanya aku merayakan #IWD tiap tahunnya dengan menuliskan refleksi singkat tentang pengalaman, harapan atau kegundahan yang tengah aku rasakan saat itu. Tapi kali ini aku menyempatkan diri untuk duduk diantara Bab-Bab tesisku yang tak kunjung usai dengan menuliskan refleksi IWD tahun ini. Tulisan ini ditujukan untuk diriku. Ada beberapa hal yang ingin aku ingatkan pada Wina di dalam sana.

Merasa Nyaman dengan Diri, Tubuh serta Tektekbengeknya: Sudah sejak kecil aku mendengar standar kecantikan dan tubuh seorang perempuan diperbincangkan. Sejak SD, aku familiar dengan lagu Panon Hideung. Betapa gambaran tentang perempuan cantik yang membuat laki-laki snewen adalah mereka yang berhidung mancung. Lantas hidung pesek ini bagaimana? Tentu saja saat itu aku merasa tercoret dari katagori cantik untuk ukuran perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku bertemu dengan banyak sekali perempuan di luar sana. Hingga akhirnya aku menemukan bahwa kecantikan itu universal. Standar kecantikan yang ada berujung pada objektifikasi perempuan. Standar kecantikan hanya buah dari konstruksi yang dibangun media. Etc etc wasweswos. Pikiran soal menjadi cantik di depan orang lain juga terkoreksi dengan sendirinya. Bahwa menjadi cantik adalah untuk diriku sendiri. Saat ini, aku bisa dengan bangga mengatakan di depan cermin bahwa aku sangat menyukai porsi tubuhku yang petite. Gadis semeter setengah yang juga menyukai bentuk hidungnya yang pesek. Menerima bekas luka di pipi kanan yang sulit ditutupi bedak. Menerima secara terbuka luka batin yang sempat perih dan terus tinggal di dalam sana. Menyukai bagaimana aku berpakaian. Mencintai bagaimana aku berbicara dan berpendapat. Aku nyaman dengan tubuh, diri dan segala tektekbengek yang mengikutinya. Seperti sakit pinggang di hari pertama menjelang menstruasi yang nyerinya minta ampun. Aku pun memeluk itu sebagai bagian dari diriku hari ini.

Menerima Bahwa Tidak Semua Perempuan Memiliki Pilihan: Sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Aku adalah seseorang dengan privilege tumbuh dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Bisa mengakses pendidikan dan kesehatan dengan memadai. Hidup nyaman tanpa harus berpikir kebingungan besok makan apa. Bahkan masih bisa bermimpi tentang masa depan. Aku sampai pada kesadaran bahwa dunia tidak berputar hanya di sekelilingku. Ada yang lebih besar dariku. Ada banyak perempuan lain yang justru hidup jauh lebih sulit dari kehidupan yang aku jalani. Kesulitan yang dialami bukan karena kebodohan, kemalasan, atau hal-hal lain. Banyak diantaranya karena permasalahan struktural dan sistemik yang bangsat. Menyakitkan memang melihat salah satu murid perempuanku di pelosok sana memilih untuk berhenti sekolah dan menikah di usia yang masih sangat belia. Mendengar seorang ibu yang rela menjadi korban KDRT demi mempertahankan keluarga dan anaknya. Seorang permepuan yang turut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga hingga kehabisan waktu untuk diri sendiri. Serta banyak cerita lain yang sempat aku katakan salah dan tidak ideal dari kaca mata perempuan. Dari sini, jauh-jauhlah rasa angkuh dan sombong. Maka dengan menyadari dan menerima ini sebagai bagian dari kehidupan perempuan hari ini, semoga jadi bahan untuk aku selalu berbuat dan berempatik pada sekitar.

Bergerak Menuju Kehidupan yang Berdaya dan Inklusif: maka sudah seharusnya aku menuju kepada-menjadi manusia yang berdaya. Berdaya dalam berpikir dan bertindak, yang mengedepankan kemanusiaan. Manusiakan manusia!

winarasidi
2 years ago

Summer Strike: Unpopular Opinion Yeo-Reum yang Diam-diam Aku Amini

Tapi kurasa semua orang belum tentu memiliki tujuan hidup. Aku juga tidak punya. Aku hanya bersenang-senang – Lee Yeo Reum (Summer Strike Eps. 5)

Summer Strike: Unpopular Opinion Yeo-Reum Yang Diam-diam Aku Amini

pict: https://pin.it/h4YliKi

Tak perlu punya tujuan hidup, bersenang-senanglah. Aku sejujurnya setuju dengan ini, tapi aku tidak mengamalkan. Aku mungkin punya fleksibilitas dalam melihat opini tersebut. Saat aku mendengar pendapat Yeo-Reum, aku tidak ingin berhenti memahami seperti yang dilakukan Jo Ji-Yeoung yang berakhir pada prasangka dan rasa benci ketika seseorang tidak sesuai dengan nilai dan standar hidupnya. Tentu saja sebagai penonton, aku sudah mengikuti empat episode perjalanan hidup Yeo-Reum untuk ia sampai pada kesimpulan soal hidup ga perlu punya tujuan. Ini yang biasanya hilang dalam komunikasi di lingkungan sosialku. Mengambil kesempatan untuk sejenak diam, netral, dan berempatik. Lantas kemudian berani mengambil sikap bahkan tindakan apapun setelahnya, itu hak semua orang.

Summer Strike: Unpopular Opinion Yeo-Reum Yang Diam-diam Aku Amini

pict: https://pin.it/2RV6RO6

Bagaimana semua orang akan tahu, jika Yeo-Reum telah menghadapi tahun-tahun yang memuakkan dengan selalu menyesuaikan diri dengan standar lingkungan, standar orang lain. Selalu bertoleransi dengan lingkungan kerja yang toxic dengan bos mesum. Gagal dalam hubungan yang telah dijalani enam tahun lamanya. Hingga kematian mendadak ibunya yang juga semakin membuat ia lelah menjalani hidup. Hingga pada satu titik ia memutuskan berhenti berlari mengejar kereta pagi untuk berangkat kerja juga berhenti berlari mengejar kereta sore sepulang kerja. Ia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Siapa yang akan peduli dengan cerita panjang di belakang opini dia soal hidup senang-senang doang ga perlu tujuan?

Jika seseorang memutuskan untuk hidup dengan cara dia, maka aku akan menghormati itu. Menyadari bahwa ia tengah menjadi seorang manusia kompleks. Jika aku pun memutuskan untuk menjalani hidup seperti yang ingin aku jalani, maka begitulah adanya. Setidaknya saat ini, aku memutuskan untuk memiliki tujuan hidup dan ingin bersenang-senang menjalani prosesnya. Jika suatu hari ini berubah. Maka berubahlah. Tidak apa-apa.

winarasidi
2 years ago

[Cerpen] - Seorang Perempuan dan Lelaki yang Memberinya Segala

Seorang perempuan berkata, cantik sekali jemarimu. Lentik. Cantik. Lelaki itu mengatakan; it’s all yours tho. Maka si perempuan bergegas mengambil ke sepuluh jari kekasihnya. Dimulai dengan memotong ibu jari sebelah kanan. Si perempuan percaya lebih baik untuk memulai sesuatu dengan tangan kanan. Ia memetik ibu jari kekasihnya dengan anggun bak memetik sekuntum bunga. Tanpa rasa sakit, bahkan si lelaki tersenyum memberikan ibu jarinya. Satu persatu jemari sang kekasih dipetiknya, kali ini ibarat memetik daun kangkung dari batangnya. Sekali lagi. Tanpa rasa sakit. Keduanya bersuka cita atas nama cinta.

[Cerpen] - Seorang Perempuan Dan Lelaki Yang Memberinya Segala

Lain hari, si perempuan dan laki-laki tanpa jari ini berjalan-jalan di sebuah taman. Sambil berjalan menggandeng kekasihnya, ia dengan lekat dan lamat memandang kedua matanya yang bening berikut bulu mata yang entah mengapa begitu pas berada disana. Sang kekasih bertanya mengapa dia ditatap sedemikian. Si perempuan mengatakan bahwa ia menyukai kedua mata indah milik lelaki itu. Maka ia pun mendapatkannya. Lelaki itu dengan segera menyerahkan dua matanya dengan darah yang segar ke telapak tangan si perempuan. Mereka berdua kembali bersuka cita sambil menyusuri taman kota.

Kesempatan lain, si perempuan dan laki-laki tanpa jari-jari tanpa mata ini terlihat duduk mendengarkan musik dengan berbagi earpods. Si lelaki sibuk menjelaskan berbagai lagu yang mereka dengar: T-shirt weather (Circa Waves) - Dancing in the moonlight (King Harvest Through the Years) - The less i know the better (Tame Impala) - Westside (The Kooks) - She (Harry Style). Si perempuan berbisik, betapa ia menyukai bentuk indah telinga kekasihnya itu dan bagaimana ia bisa tanpa kesulitan menerima musik dan menerjemahkannya dalam pengertian dan keindahan yang paling mudah. Maka lelaki itu tak pelu menunggu lama untuk mengiris kedua telinganya dan memberikannya bak bingkisan hari raya di hadapan perempuan pujaan. Lelaki tanpa jari-jari tanpa mata tanpa telinga tampak bangga dan bahagia.

Begitulah mereka berdua menjalani hari-hari, si perempuan dan lelaki yang kini nyaris tanpa wajah menjadi sepasang kekasih. Datang suatu hari ketika si perempuan begitu menyukai bahu si lelaki yang terasa begitu nyaman untuk bersandar. Mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada mata kaki si lelaki, atau pada kelingking kaki sebelah kiri. Tentu saja tanpa perlu usaha, dia akan mendapatkannya dengan segera. Si lelaki murah hati memberikan segala.

Hingga suatu hari, si perempuan dan laki-laki tanpa segala kini tengah berada dalam kekosongan. Si perempuan duduk dengan jari-jari tangan, mata, telinga, hidung, mulut, lengan, kaki, mata kaki, jari-jari kaki dengan kelingking sebelah kiri di atas pangkuannya. Ia hanya ditemani kekosongan.


Tags
winarasidi
2 years ago

Sore Izakaya dan Caranya Membuatku Kembali

Aku bukan orang yang biasa review makanan. Buka apa-apa, seringnya aku lupa apa yang udah masuk ke perutku. Tapi berbeda dengan Sore Izakaya. Pertama kali aku datang ke restoran Jepang ini di Sore BSD. Waktu itu kami datang di jam makan malam. Pendar lampion di luar ruangan serta pemandangan bapak tukang jahit yang masih menjahit di sebrang tempat kami duduk membuat suasana jauh lebih baik. Menu pertama yang aku cicipi adalah Creamy Ramen. Visualnya yang bikin ngiler di buku menu jadi alasan utama aku menjatuhkan pilihan ke Creamy Ramen. Entah mungkin ditambah rekomendasi mas pacar yang duduk di sampingku, aku ndak ingat betul. Belakangan baru aku tau kalau Creamy Ramen memang mendapatkan ulasan yang cukup bagus di kalangan konsumen. Aku juga nyicip Mentai Beef Cheese! Wenak Puwoll! Sama Udon juga kalo ga salah.

image

Sore Izakaya mengingatkanku pada series kecintaanku, Midnight Diner. Bagaimana pun, melihat makanan Jepang disajikan selalu membuatku ingin makan lebih banyak. Membayangkan potongan ayam, telur setengah matang (bagian terbaik), irisan daun bawang dan nori yang berenang di atas kuah keju, visual dan rasanya terus nempel di kepala. Bahkan ketika aku kepusingan memikirkan financial plan lima hingga sepuluh tahun kedepan sebagai bagian konsekuensi jadi dewasa.

Kesempatan ke dua datang di jam makan siang, aku memutuskan untuk kembali ke Sore setelah secara tidak sengaja melihat iklan ramen di mobil box yang melaju menuju Jakarta. Engga lebih dari dua menit (mungkin), kami memutuskan untuk lunch di Sore Fatmawati. Kali ini lebih kosong dari biasanya. Dan harus aku akui, aku suka sekali toiletnya. Bersih, wangi, sederhana, dan sangat Jepang. Di kesempatan ke dua aku masih memesan Creamy Ramen, sambil mencicipi Kawa Yakitori sama Chicken Katsu Don (sesungguhnya aku ga ingat semua yang kupesan). Kali ini obrolan kami didominasi topik seputar pemilu 2024 serta riuh hiruk pikuk menjelang 2024. Mas Pacar dan salah satu sahabatku hari itu memang kombinasi terbaik untuk temen makan siang.

image

Kesempatan ke tiga sesungguhnya agak konyol. Setelah lebih dari satu tahun tinggal di Pamulang, aku baru tau kalau Sore punya cabang di Pasar Kita Pamulang! Cuman 9 menit naik motor dari kosan! Sungguh kebodohan yang aku syukuri. Kali ini kami datang di jam makan malam yang tenang. Aku ganti menu jadi Spicy Ramen, dan udah bisa ketebak, aku juga suka! Maksudku, sesuai dengan lidahku yang lokal ini. Dan Tentu saja, Creamy Ramen tetap masuk pesanan.

image

Salah satu icon yang sangat aku suka dari Sore adalah tirainya! Hahaha. Sungkem buat manusia yang design tirai di pintu masuk Sore. Cantik banget anjay. Ngingetin aku sama Midnight Diner, Izakaya Bottakuri dan The Way of the Househusband, tiga list terfavoritku di Netfix. 

Sore Izakaya Dan Caranya Membuatku Kembali

Pict: bintaroandbeyond.com

Dari ketiga kesempatan aku mengisi perut di Sore, aku selalu menikmati bagian Miki Matsubara menyanyikan Stay with Me.

Bagiku, makan adalah makan. Proses mengisi perut yang lapar jadi (cukup) kenyang. Proses tubuh Kembali mendapat energi. Ada atau tanpa ada temen makan, dia tetap makan. Tapi, ketika aku menemukan temen makan berikut tempat makan yang enak. Bagiku, makan menjadi teramat penting dan spesial. Sebagaimana meja makan di tengah keluarga. Meja makan di hadapan sepasang kekasih. Meja makan di antara konco dan teman sejawat. Mereka selalu menghadirkan kehangatan atau bahkan sesekali ketegangan. Bagiku, makan di Sore Izakaya selalu membuatku ingin kembali.


Tags
winarasidi
2 years ago

Berbagi Playlist juga Bentuk Love Language (setidaknya buatku)

The Love Language Profile yang ditulis oleh yang empunya Chapman (2015) digunakan untuk menilai cara-cara individu dalam berkomunikasi. Seperti yang kita tau, ada lima bahasa kasih yang amat populer disisipkan dalam obrolan anak-anak remaja atau manusia dewasa, diantranya; words of affirmation, quality time, receiving gifts, acts of service, dan physical touch. Chapman juga berpendapat bahwa alasan utama munculnya masalah dalam hubungan adalah karena pasangan berbicara dengan bahasa cinta yang berbeda. Bagiku masih masuk akal. 

Aku justru amat menyadari hal ini ketika bekerja di Aceh Singkil. Lalu amat tersiksa atas relasiku dengan salah satu teman sepenempatan. Susah banget rasanya komunikasi sama dia. Gini salah gitu salah. Terus aku merasa sudah sangat berusaha membangun komunikasi, mencoba memahami, tetap saja nihil. Hasilnya? Ya akunya aja goblok sebenarnya hahaha

Lalu gagasan ini muncul ketika kami memiliki waktu refleksi yang dingin, dimediasi oleh pihak ketiga. Mentor. Dengan segala permasalahan yang terjadi antara aku dan dia, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena kami berbicara dengan bahasa kasih yang berbeda. Bagiku, yang dominan words of affirmation, nanyain kabar, nyemangatin dengan kata-kata, sudah sangat mewakili kepedulianku terhadap teman sepenempatan. Tapi ternyata, bagi dia yang acts of service, semua itu hanya omong kosong dan ilusi kalo aku ga sampe nyamperin dia sebagai bentuk komunikasi dan dukungan yang diharapkan. Sampe belut buluan, maksud kami ga akan pernah ketemu! Karena aku sudah merasa cukup, sedangkan dia tidak. Juga sebaliknya. Ketika dia lupa bilang tolong, maaf, atau terima kasih, aku bapernya minta ampun sampe ke ubun-ubun. Dongkol. Meskipun hanya ada dalam kepalaku saja. Ya ini pengalaman relasi sosialku yang coba menerapkan teori love languagenya Chapman. Setelah tau, rasanya lebih mudah berinteraksi secara sehat dan dua arah. Kami saling memahami dan toleransi terhadap kebutuhan orang lain. Lantas dalam relasi romantis? Ya silakan yang punya pengalaman boleh mengingat-ngingat. 

Akhir-akhir ini aku sedang merasa penuh, akibat berbagi playlist dengan mereka yang terdekat dan terkasih. Ketika stres menyerang, sungguh kalimat sederhana “Win dengerin ini deh”, rasanya memberikan ketentraman batin yang tiada dua. Konten yang dibagi denganku juga beragam, mulai dari podcast, video youtube, ceramah, diskusi tertentu dan terutama musik. Mereka yang membagi playlistnya denganku tentu saja sudah lebih dulu mendengarkan, bisa jadi juga merupakan bagian favoritnya, lalu mereka dengan sadar membagi, merekomendasikan, dengan penuh perhatian kepadaku. Tentu sangat membuatku penuh. Haru. Hangat. Terkadang ingin mewek. 

Buat kalian yang menyempatkan, untuk sekian detik, memikirkan playlist dan membaginya denganku. Aku sangat berterima kasih. Sangat berarti bagiku. Sungguh. Semoga kalian selalu dipenuhi cinta kasih setiap hari :) 

source: youtube.com Salah satu lagu yang aku nikmati akhir-akhir ini, silakan ikut mendengarkan jika berkenan. 


Tags
winarasidi
2 years ago

I'm lucky to be me and you can see it in my face

winarasidi
2 years ago

Menyalakan Kembang Api

image

pict: pinterest

Tahun 2022 baru saja berlalu dalam tanggalan ke belakang. Sudah seminggu berlalu dan kalender di dinding menunjukkan angka baru; 2023. 2022 merupakan tahun yang berat dan jungkir balik. Secara fisik dan mental. Aku melewati paruh pertama dengan menjadi pasien seorang psikolog. Semenjak paruh akhir 2021. Tengah tahun 2022, aku tetap konsultasi ke psikolog. Ini hanya sebuah usaha untuk tetap menjadi waras dan untuk menyelamatkan fisikku yang kian hari kian turun berat badan. Selama itu, aku menutup diri dari banyak hal, tapi juga membuka diri pada banyak hal. Ada lubang menganga besar di dadaku yang pun betapa mengangga ia, yang hadir hanyalah kekosongan. 

Pelan-pelan, di paruh akhir tahun 2022, aku mulai kembali merasa hidup. Aku menemukan diriku lagi. Aku menghidupi lagi values yang selama ini aku miliki. Bukan hanya karena usahaku sendiri untuk sembuh, tapi berkat keluarga, teman dan sahabat terdekat yang terus menemani fase berat dalam hidupku. Mereka, secara bergantian membersamai. Ga perlu aku sebut, karena kalian sudah tentu tau dan merasa. Terima kasih banyak. 

Dan, yang padam dalam rongga dada, kini menemukan kembali nyalanya. Aku mulai menyalakan kembang api. Dengan percik sedikit. Dengan hangat yang cukup. Hingga jadi kobar yang membara. Tapi. Cantiknya bak kembang api tahun baru yang aku saksikan di sepanjang tol layang menuju Jakarta. Euforianya akan hilang. Apinya akan padam. Tapi aku tau, bahwa aku sudah dalam pelukan kehangatan yang paling tepat. 

Selamat menempuh 2023 Wina, dengan cinta dan kasih sayang terbaik yang bisa kamu berikan pada semesta.

winarasidi
2 years ago

There's a little bit of me inside you Gathering what you've lost

winarasidi
2 years ago

“Kok Makan Sendirian Mbak?”

Aku adalah manusia yang ga punya masalah ketika harus makan sendirian. Engga inget pasti sejak kapan prinsip ini aku pegang. Bagiku, makan ya makan. Proses mengunyah dan menelan makanan, sampai akhirnya kenyang dan ga lagi lapar. Perkara ada temennya atau engga, bagiku itu di luar proses makan. Bukan berarti aku tidak menyukai untuk makan bersama orang lain. Tentu saja senang bisa berbagi ruang saat makan. Tapi makan sendirian pun tidak mengurangi perasaan senangku ketika ketemu makanan. 

Singkatnya, hari ini aku memutuskan makan siang di salah satu rumah makan padang yang sudah sering direkomendasikan teman-temanku di Pamulang. Kebetulan letaknya berdekatan dengan salah satu cafe yang akan aku kunjungi sore ini. Perut kecil yang kayanya ususnya panjang ini kurang kenyang jika hanya makan berat di cafe hehe. Makanya mampir dulu ke nasi padang. Seperti biasa aku hanya kaosan dan gendong ransel. Setelan pindah nugas dari kosan ke cafe, tapi males dandan. Seperti biasa aku pesan makan.

image

Setelah aku nemu meja kosong di pojokan, aku memutuskan menunggu pesanan sambil nonton Laal Singh Chaddha di Netflix, dengan pemeran utama Aamir Khan (favoritku! hampir semua filmnya aku tonton) dan Kareena Kapoor, aktris yang sudah muncul di tv sejak aku kecil. 

Anw, pelayannya dateng bawa piring isi ayam bakar. Aslinya lebih banyak dibanding di foto, karena nasinya numpuk dan mleber. Tapi apa yang pelayan itu katakan sesampainya dia di mejaku? 

“Kok makan sendirian Mbak?”

Aku balas hanya dengan tersenyum. Tak lama dia segera kembali bekerja dan meninggalkan mejaku. Lantas aku hanya bisa tersenyum. Jika aku hitung dengan teliti, berapa puluh kali aku dapat pertanyaan bernada sama. Mungkin bisa aku hitung sejak 2013, ketika pindah untuk berkuliah di Depok. Aku sudah memulai praktik makan sendirian. Hasilnya pasti banyak. Mereka yang bertanya demikian engga kenal tempat. Di warung padang, pecel lele, tempat ngopi mainstream, tempat ngopi indie, bahkan warung bakso favoritku di Garut, bertanya sampai dua kali untuk memastikan apakah aku makan sendiri dan apakah ga ada temen yang nyusul. Selama ini jawabanku beda-beda, kadang aku tanggapi serius, kadang aku becandain, kadang kaya hari ini cuman aku senyumin. Kenapa manusia begitu penasaran dengan perkara temen makan orang lain? Padahal yang kenyang perutku. Pertanyaan model begini ga akan bikin kenyang rasa penasaran atau basa basimu. Tentu saja jika di lain hari aku masih dapet pertanyaan begini, aku masih akan senyum-senyum sendiri :)

winarasidi
3 years ago

Akhir-akhir ini aku nugas sering banget ditemenin lagu ini. Enakeun banget ampun!

winarasidi
3 years ago

April

12.17 AM, sudut layar leptopku berkedip ketika sebuah notifikasi menyembul seolah memaksaku segera mengisi daya. Kembali melirik sudut kanan bawah, ternyata sudah lewat tengah malam, sedang aku masih membuka beberapa Peraturan Daerah (Perda)  terkait perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas. Membandingkan satu Perda dengan Perda yang lain. Sudah hampir dua semester ini aku lebih banyak berkutat dengan kebijakan, di kelas-kelas formal jalur zoom, juga di kelas alternatif Think Policy Bootcamp yang tentu saja via zoom juga. Semuanya membuat kosakata istirahat harus selalu ditunda. Aku putuskan untuk merayakan saja.

Memasuki pekan Ujian Tengah Semester, atmosfir urusan kuliah mulai intens. Ditambah aku memutuskan mengambil jadwal praktek di hari minggu per April ini. Lengkap sudah tidak ada warna merah dalam 7/7 kehidupanku. Sekali lagi, aku putuskan untuk merayakan saja. 

Mari rayakan hari-hari tanpa libur yang berarti. Hari-hari yang rusuh berangkat pagi ke tempat kerja sedang mata masih rapet sisa begadang semalaman. Merayakan jam kosong di klinik dengan tidur di atas matras pas bangun sakit badan. Merayakan kuyup karena pun udah pakai jas hujan, angin di Ciputat dan Pamulang tetap ga pandang bulu. Merayakan berbagai rasa sakit dan ga nyaman, merayakan hal-hal kecil yang membahagiakan. 

April, bulan merayakan.

winarasidi
3 years ago

No matter how much I try, no matter how much I want it, some story just don't have a happy ending

winarasidi
3 years ago
Gila Sih, Mengenali Dan Memahami Perasaan Itu Proses Panjang Banget. Kadang Melelahkan. Tapi Ya Manusia

Gila sih, mengenali dan memahami perasaan itu proses panjang banget. Kadang melelahkan. Tapi ya manusia dianugerahi komponen macam ini. Aku juga dibekali ilmu untuk memahami perasaan anak-anakku di klinik. Tapi pada akhirnya harus mengenali dan memahami perasaan sendiri juga jadi sebuah upaya yang sulitnya bukan main. Yuk bisa Wina bisa. Pelan-pelan aja.

winarasidi
3 years ago

Terima kasih kepada Mbak Nisa yang bikin river of life nya diwakili oleh lagu-lagu, kayanya sistem yang sama akan aku adposi terus. Karena musik adalah bagian dari perjalanan personalku.

winarasidi
3 years ago

Bu Lastri bikin bubur kacang ijo pake daun pandan, wangi banget. Dia anter semanguk bubur kacang ijo ke kamarku. Sedang aku sibuk dengan banyak sekali laporan assessment anak-anak di klinik. Casual aku putar sambil mandang bubur kacang ijo lekat-lekat, lamat-lamat. Ah. Aku masih harus mensyukuri hari ini. Hamdallah bubur kacang ijonya enak banget.

winarasidi
3 years ago

B: Aku jauh-jauh ke sini mau bilang sesuatu.

A: Apa?

B: Aku pulang.

winarasidi
3 years ago

#winareadsbook: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki

2021 hits me hard. 

image

Pada akhirnya aku membutuhkan pertolongan. Dimulai dari kembali membaca lebih banyak buku, dan pilihan pertama jatuh pada buku Baek Se Hee. Buku dengan cover yang soft, dimana seorang perempuan berbaring di atas latar berwarna hijau dengan sekuntum bunga berwarna kuning di dalam vas. Serta warna lilac yang lumayan menggambarkan ekspresi si perempuan yang tengah berbaring dengan layu. 

“Salah satu cara untuk membuat diriku merasa bebas adalah dengan menunjukkan sisi gelapku. Aku ingin orang-orang yang berharga bagiku mengetahui kalau sisi gelap itu juga merupakan bagian dari diriku”

Sebuah catatan pengobatan Baek Se Hee yang tengah berjuang menghadapi distimia (depresi ringan yang terus-menerus) melalui konsultasi dan pengobatan dengan psikiaternya. Isu utama dalam buku ini memang kondisi psikologi Baek Se Hee, namun artikel yang disajikan dalam bentuk percakapan berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan, penilaian, masukan yang jadi relevan karena menyentuh permasalahan manusia; kesedihan, kesepian, perasaan kosong, serta hal-hal lain yang meskipun dalam kasus Baek Se Hee, aku merasakan beberapa hal yang dia rasakan. 

Percakapan yang mungkin intim antara dia dan psikiaternya membuat tulisan ini terasa jujur. Meskipun aku agak terganggu pada versi terjemahan buku ini. Kalian akan menemukan beberapa highlight yang mewakili benang merah setiap babnya, dan sering kali itu lah yang menohok ulu hatiku sebagai pembaca. 

“Sisi lain” dari seseorang manusia, adalah juga bagian dari dirinya. Menerima dan mencintai sisi itu juga perlu. 

winarasidi
3 years ago

Makoto Shinkai; rasanya tau aku butuh apa

00.06 WIB 

image

pict source: https://theoddapple.com

Berakhir di depan leptop, padahal 15 menit yang lalu aku sudah mematikan lampu dan mencoba tidur. Hingga notifikasi email masuk dari salah satu Profesor di UI yang memintaku mengirimkan manuskrip jurnal penelitian yang sedang aku tulis. Sepertinya mendesak, maka aku putuskan membalas email dan mengirim manuskrip yang beliau minta. Setelah memastikan email terkirim dengan selamat, aku tergiur untuk menunda tidur beberapa menit lagi. Aku ingin menulis tentang Makoto Shinkai. Aku agak picky sama film dan anime Jepang, saking pilih-pilihnya, aku rela memutar ulang berkali-kali Only Yesterday produksi Studio Ghibli. Iya, aku anak visual yang dimanjakan semua animasi produksi Ghibli. Tapi, kali ini aku berani melakukan eksplorasi dalam khazanah per-anime-an seorang Wina. Aku menjajaki karya-karya Makoto Shinkai mulai dari  5 Centimeters per Second,  Your Name,  Weathering with You, dan tentu saja She and Her Cat yang merupakan film pendek durasi 5 menit yang memberi kesan paling dalam buatku. Masih ada beberapa karyanya yang masuk ke daftar tungguku, mengatur waktu antara kuliah, kerja paruh waktu, dan full time overthinker tentu saja sulit. 

Awalnya aku merasa pesimis dengan genre romantis yang muncul di film-film Makoto Shinkai, aku lebih tertarik pada cerita misteri dan fantasi. Bagaimana bisa dua tokoh karena perkara tidak berani menyampaikan perasaannya masing-masing bisa begitu menderita sepanjang cerita. Aku akan permisi ke toilet saja dibanding menyelesaikan tontonan. Tapi ternyata ada hal lain yang membuatku bertahan dan menyelesaikan setiap filmnya tanpa skip. Ternyata aku mengagumi visualnya. Menyelesaikan setiap film mengingatkanku pada menggambar dan melukis. Kegemaran yang sudah lama sekali aku tinggalkan. Seingatku, terakhir kali melakukannya ketika aku melukis sesuatu untuk mantan kekasihku dulu. Selebihnya, aku tidak pernah melakukannya lagi. Kehebatan visualnya membuatku rindu untuk melakukan kembali hal-hal yang biasa aku lakukan, yang membuatku senang dan merasa hangat. Rencana tindak lanjut dari sini adalah membeli beberapa hal yang aku butuhkan, kanvas, cat, micron drawing pen, krayon, pensil. Iya, Makoto Shinkai tau apa yang sedang aku butuhkan saat ini. Semesta yang ku lukis sendiri.  (Pamulang, hari yang berat setelah ujian akhir biostatistik 3 sks)

winarasidi
3 years ago

Caraku Membuhun Waktu: Sounds From The Corner

Hari ini, aku memutar Frau dari kanal youtube Sound from The Corner (SFTC). Dibuka dengan spotlight piano dengan satu kursi, dimana Frau, Leilani Hermiasih, atau Lani nama panggilannya akan berjalan dan duduk menghadap piano. Aku, entah mengapa selalu terobsesi dengan pertunjukan, drama, dialog, panggung, dan lampu sorotnya. Sudah sejak lama, SFTC menjadi salah satu agenda pribadiku dalam membunuh waktu. Aku akan masuk ke http://www.soundsfromthecorner.com./ atau melakukan pencarian cepat di youtube. Baik kategori Session atau Live yang disajikan SFTC akan aku nikmati baik secara auditori maupun visual. 

Lalu Frau akan memainkan piano dengan lagu pembuka I’m a Sir.

I'd dress up like a sir, I'd dress up as a sir Stick on a mustache, a beard, and some speckles And put on a hat, like a sir I'd step up like a sir, I'd step up as a sir My queen shall lay her sword on my shoulders As I say my prayers to bless her

Sejurus kemudian, aku membaringkan tubuh di atas ranjang dengan Frau terus bernyanyi. Rasanya kepalaku berat sekali. Setelah dua hari tidak bisa tidur. Mencoba memejamkan mata. Berusaha keras mengosongkan pikiran. Aku izinkan Frau memenuhi isi kepalaku. Rasanya nyaman sekali. Mungkin ini lullaby yang aku butuhkan. 

Lalu Frau masuk ke lagu ke tiga, judulnya Empat Satu, aku memasrahakan diri mendengarkan setiap liriknya. Sialnya, kini kepalaku berubah menjadi kotak musik dengan gambar yang muncul bergantian. Gambar-gambar dari kejadian dan potongan peristiwa dari salah satu lobus di otakku. Mungkin saat itu, lobus temporalku mendapat stimulus yang berlebihan karena dia bertanggung jawab terhadap fungsi pendengaran, memori, dan emosi. 

Gambarnya terjeda dalam potongan dialog;

“Yang ada antara aku dan kamu adalah kerinduan, penyesalan, harapan dan ketakutan. Layaknya yang terjadi antara Yennefer of Vengerberg dan Geralt of Rivia. Yang ada diantara kita adalah rasa sakit yang aneh, yang digabungkan dengan kebahagiaan. Tapi aku menyadari hanya itu yang aku butuhkan, sudah segalanya bagiku” - 

Lalu aku jatuh tertidur. Karena justru, waktulah yang berhasil membunuhku.

winarasidi
3 years ago

Terima kasih, Prof

pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati 

pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari

winarasidi
3 years ago

Tips Cuma-cuma

Salah satu sahabatku bilang, semakin dewasa ada salah satu kemampuan yang berkembang hebat, kemampuan mengambil hikmah. 

Untuk sebentar aku tertawa mendengar jawaban dia. Bener banget. Rasanya semakin tua dan dewasa, keterampilan mengambil hikmah semacam cara untuk menenangkan diri dari segala problematika kehidupan yang njelimet. Aku sering melakukan itu. Mungkin dengan terminologi yang sedikit berbeda, refleksi, aku lebih sering menggunakan term ini. Tapi bukan saja soal mengambil hikmah, kemampuan ini sering aku gunakan untuk memvalidasi hal-hal yang terjadi, memahami kembali peristiwa yang telah terjadi, dan mengambil ibrah dengan penuh kesadaran. 

Terus ada satu lagi yang jadi highlight pertemuan mendadak kami. Kami menyepakati bahwa manusia tidak akan pernah 100% cocok dengan partner. akan ada sekian persen ketidakcocokan. Misal, si X memiliki 75% kecocokan dengan si Y, tapi ada 25% hal-hal yang ga cocok. Akan selalu seperti itu meskipun dengan derajat yang mungkin berbeda-beda. Tapi, setelah obrolan yang panjang dan agak serius, kami setuju untuk memandang bahwa jika kita sudah menemukan 75% kecocokan dengan seseorang, maka 25% yang lain adalah kesempatan untuk mencocokan diri. Kami rasa, toleransi terhadap ketidakcocokan itu penting. Tapi, aku ga bisa berhenti sampai disana, semua itu harus dibingkai oleh koridor dan prinsip yang kita punya. Jika menciderai prinsip dan koridor itu, lantang saja dan berani katakan bahwa kita tidak cocok. 

Kami merayakan pertemuan singkat ini dengan memesan takoyaki, merayakan tips cuma-cuma yang kami temukan tanpa sengaja. 

winarasidi
3 years ago

Menunggu dengan Sadar adalah Seni

Hidup berkesadaran adalah ketika kita melakukan sesuatu karena ada alasannya. Lalu, jika kita ingin melakukan sesuatu tanpa alasan apakah bisa dikatakan tidak berkesadaran? 

Monggo mau pake kiblat mana atau teori siapa soal kesadaran.  Sejumlah teori dari berbagai bidang berusaha menjelaskan hakekat kesadaran, misalnya filsafat, psikologi, neurosains, fisika kuantum, matematika, mistik, dan pendekatan integral. Kalau pakai definisi dan sudut pandang kesadaran dari banyak teori diatas rumit dan butuh waktu lama, coba kita lihat cara Natsoulas (1978, 1999) yang lebih menyukai pendekatan akal sehat atau bagaimana orang awam menggunakan kata kesadaran sebagaimana tercantum dalam Oxford English Dictionary, setidaknya ada enam arti kesadaran menurut kamus ini; (1) pengetahuan bersama (2) pengetahuan atau keyakinan internal (3) keadaan mental yang sedang menyadari sesuatu (awareness), (4) mengenali tindakan atau perasaan sendiri (direct awareness), (5) kesatuan pribadi yaitu totalitas impresi, pikiran, perasaan yang membentuk perasaan sadar dan (6) keadaan bangun/terjaga secara normal. 

Aku sedang mencoba dan berusaha untuk berkesadaran dalam menunggu. Kalian boleh mempersepsikan menunggu untuk apapun. Aku tidak harus menjelaskan. Hidupku, dengan banyak sekali dot-dot di dalamnya, adalah seni menunggu, dan berkesenian dalam menunggu. Menunggu waktu menyambungkan setiap dots yang ada. Connecting the dots. Titik-titik dalam hidup yang berserakan, tidak otomatis saling terhubung, terkadang perlu dihubungkan, ditemukan, disatukan. Menunggu dengan sadar, berkesadaran dalam menunggu adalah seni. 

Beberapa tahun silam seorang teman mengenalkanku pada penyanyi asal Malaysia ini, Zee Avi. Ia memintaku untuk mendengarkan beberapa lagu dari hits-nya di tahun 2009, siapa sangka aku suka semua lagunya! Bahkan lagu Just You and Me menjadi salah satu alasanku membaca buku  Kierkegaard dan meyakinkan diri akan menjadi pasangan yang membebaskan partnernya untuk hidup sesuai keinginan. Asal aku ikut di dalamnya. Hahaha Aku rasa Good Things ini cukup mewakili soal hidup berkesadaran yang aku rasakan. Dengan segala tantangan yang sedang kita hadapi masing-masing, Mbak Zee Avi berpesan “Lets all do the right thing as citizens, humans, friends, family, and stay home, for the love of yourself, your family and all your loved ones. Til then, just a gentle reminder to all that, 'Good Things Come To Those Who Wait”

winarasidi
3 years ago
Ada Masanya Ketika Mengucapkan Terima Kasih Sulit Sekali Untuk Dilakukan. Atau Ketika Meminta Maaf Jadi

Ada masanya ketika mengucapkan terima kasih sulit sekali untuk dilakukan. Atau ketika meminta maaf jadi pekerjaan yang melelahkan. Keduanya selalu tidak tepat untuk disampaikan. Hingga pada akhirnya, terima kasih dan maaf kehilangan kekuatannya. Manusia kehilangan ruang untuk dialog.

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags