260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer Yang Sepi Di Mata Pesepeda Amatir

260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer yang Sepi di Mata Pesepeda Amatir

Baby, you know that dreams, they're for those who sleep Life, it's for us to keep And if I chose the one I'd like to help me through I'd like to make it with you I really think that we could make it, girl (Make it with you - Bread)

Beberapa minggu lalu, aku dan Dargo baru menyelesaikan salah satu project paling dag dig dug setidaknya untukku; bersepeda dari rumah kami di Tangerang Selatan sampai ke Anyer. Google maps menghitung jarak tempuh sekali jalan 130 km, 2 jam 26 menit naik mobil, 3 jam 13 menit kalo naik motor, dan butuh satu hari kalo sambil jalan kaki. Ga ada latihan intensif seperti sebelum TDA, hanya bersepeda rutin mingguan di akhir pekan, tapi aku membulatkan tekad untuk mencoba. Emang suami saya aja agak edan, dan bisa-bisanya saya juga ikutan edan? Kami nyiapin diri tentu saja, fisik, mental dan bekal. Aku ingin mengingat hal-hal yang aku temukan selama project ini berlangsung.

260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer Yang Sepi Di Mata Pesepeda Amatir

Melatih cadence

Setelah rutin bersepeda 9 bulan ini, aku belajar tentang cadence. Cadence ini merujuk pada jumlah putaran pedal dalam semenit, biasanya pakai ukuran RPM (Rotasi Per Menit), sederhananya cadence bisa dipakai untuk melihat seberapa cepat atau lambat seseorang mengayuh sepeda. Sebelumnya, aku ga pernah mengayuh pakai strategi atau teori apapun, goes ya goes wae sak bisane, sak mampune. Tapi ternyata setelah direfleksikan lagi, lelah sekali ketika harus ngejar Dargo dengan power yang ga sebagus itu, dengan endurance yang ga sebagus itu juga. Maka, pilihan paling bijak adalah dengan memperhatikan jumlah putaran pedalku. Pertama kali aku pakai sensor untuk mengukur cadence ini di perjalanan ke PP Tangsel-Anyer ini. Long story short, Dargo pernah bilang untuk coba pertahankan di 80 RPM. Bodohnya, ku telan saja titah itu dengan berusaha goes di 80 RPM ketika perjalanan pergi ke Anyer. Hasilnya? Pelvic aing ambyar! Kayanya kalau tulang ilium, ischium dan pubisku bisa ngomong, mereka akan berontak dengan sangat. Karena aku merasa terlalu berat, aku turunkan pelan-pelan sesuai kemampuan saat itu. Alhasil, rata-rata cadence PP Tangsel-Anyer di angka 67 RPM dengan max cadence 111 RPM. Minggu berikutnya, avg cadencenya naik ke 72 RPM denga Max 106 RPM. Yha, ga membabi buta, tapi ga terlalu siput juga. Mari kita latihan terus demi mencapai efektif. 

Sekedar informasi: umumnya pembalap profesional memiliki rata-rata cadence sekitar 85-100 RPM selama balapan. Katakan saja beberapa bintang Tour de France beberapa tahun terakhir ini, katanya Tadej Pogacar yang terkenal kuat mempertahankan cadence tinggi bahkan di tanjakan curam, rata-ratanya 90-100 RPM. Ga jauh beda sama rivalnya Jonas Vingegaard, atau pembalap serba bisa, Wout van Aert (mari berdoa dia cepet pulih setelah kecelakaan di race baru-baru ini) bisa di 85-95 RPM. Rata-rata ini dipertahankan selama balapan yang berjam-jam itu. Ah mari kita sudahi khotbah cadence ini. Semoga ada mustami dan jamaah online yang mengamini. (source: https://www.procyclingstats.com) 

Membaca sosial

Kami mengambil rute yang berbeda ketika pergi dan pulang, kami pergi melalui jalur tengah, sehingga jalanan cenderung lebih kecil, aspalnya ga mulus-mulus amat, jika beruntung kami akan  disuguhi kebun dan sawah di kiri kanan jalan. Kenapa beruntung? Karena keberuntungan ga selamanya tjoy! Sepanjang jalan aku melintasi banyak nama daerah. Biasanya aku akan melirik ke spanduk-spanduk warung madura yang menuliskan alamat singkat; Balaraja, Kragilan, Ciruas, Serang, Cilegon, Anyer. Aku melintasi tiap daerahnya seperti tengah melihat adegan film silih berganti dengan cepat. Aku melihat begitu banyak manusia dan adegan-adegan sosial yang menyertainya: para petani keluar rumah dengan sepeda besinya sambil membawa gulungan di pundak. Ibu-ibu berdaster membakar sampah di pinggir jalan raya (sumpah adegan ini terus berulang, dengan aktor dan setting lokasi yang berbeda), pasar dengan orang-orang meringsek berdesakan hingga bersepeda disekitarnya jadi jauh dari kata menyenangkan. Anak-anak kecil yang menganga tiap kali sepeda kami lewat, dengan mata nyaris melompat dari kelopaknya karena mengira sepeda kami kelewat keren. Di balik tikungan lain, aku memasuki kawasan industri yang panas, berasap, dan mendidih di ubun-ubun. Supir-supir truk yang kelewat kesal dengan menekan klakson panjang-panjang di tanjakan yang berdebu. Kesibukan semua orang di tengah ekonomi yang begini. Juga kami yang begini di atas sepeda, jauh dari rumah. Sejujurnya perjalanan pulang lebih membosankan dan monoton, karena kami memilih jalur Pantura - yang ya bisa ditebak dan dibayangkan

Merefleksikan pernikahan dan relasi personal

Secara durasi, kami menempuh hampir 12 jam di atas sepeda (11 jam 55 menit) untuk PP Tangsel-Anyer. Bagiku, 12 jam bersepeda tanpa mendengarkan musik, kuping polosan hanya mendengar irama alam (aelah). Tentu saja punya banyak waktu untuk bengong bego ga mikirin apa-apa, atau justru jadi 12 jam paling hening, dan hanya ada aku dan diriku. Terkadang, ketika aku copot agak jauh dari Dargo, biasanya ketika tanjakan. Aku selalu merasa bersepeda adalah salah satu aktivitas paling sepi, dan ada semacam kesepian yang menyergap. Tentu saja selain penderitaan fisik, didera kesepian juga bagian dari penderitaan mental. Tapi, kalo kata Nietzsche “to live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering. Lebih puitis dari itu, Khalil Gibran nulis “out of suffering have emerged the strongest souls; the most massive characters are seared with scars”. Apakah dengan menyiksa diri pas sepedahan, aku benar-benar menjadi lebih kuat? Ah aku ga pernah berusaha menjawab, karena aku selalu merasa masih lemah. Ah intinya, rasa sunyi dalam penderitaan ini membuatku memikirkan banyak hal, salah satunya; pernikahan. 

260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer Yang Sepi Di Mata Pesepeda Amatir
260 Kilometer: PP Tangsel-Anyer Yang Sepi Di Mata Pesepeda Amatir

Setidaknya sejauh ini, dari pernikahanku yang baru seumur jagung (setidaknya 4 kali nanem dan panen jagung); aku melihat perjalanan bersepedaku laiknya pernikahan. Kami bersiap sebelum berangkat, menentukan berbagai macam alternatif rute, menyiapkan bekal, melatih diri dan mental, bahkan butuh setidaknya ilmu tentang bersepeda. Ketika datang hari kami bersepeda berdua, ada banyak tanjakkan dan turunan, yang tajam pun yang biasa saja. Ada banyak waktu yang berat, tapi ada juga istirahat. Salah satu yang aku pikirkan kala “kesepian” dalam kayuhan yang berat. Menikah – sebagiamana bersepeda bersama – butuh dua orang yang sudah siap dengan sepedanya masing-masing. Sebelum aku sepakat ikut bersepeda jarak jauh, aku sudah seharusnya memahami sepedaku, caraku bersepeda, tau kekuatan dan batasanku. Karena jika tidak, aku hanya akan tertinggal, kelelahan, bahkan ga akan bisa menyamai – mengikuti – mendampingi partner bersepedaku. Setelah selesai dengan sepeda masing-masing, bisakah aku bekerja sama membuat perjalanan ini lebih mudah dan menyenangkan? Bisakah aku memahami kelelahan satu sama lain? Bisakah aku mengatur kecepatan agar long ride ini tidak begitu babak belur menimbulkan cidera disana sini? Setelah sampai di tujuan, kemana lagi kita pergi? Perlu berisitirahat, membersihkan diri, mencuci sepeda sambil meredakan nyeri otot. Aku rasa, pernikahan, memiliki semua itu, laiknya - bersepeda - berdua - jarak jauh. Entahlah, mungkin nanti bersepeda akan menemukan makna dan rasa baru. Kami hanya bahagia ketika bersepeda. 

5 September 2024 Setu, Tangerang Selatan Pesepeda amatir yang sedang bertahan dari tekanan kenaikan pajak, iuran, harga kebutuhan pokok, hingga wacana penyesuaian tarif KRL berbasis NIK.

More Posts from Winarasidi and Others

3 years ago
Selepas Pulang Dari Indonesia Mengajar, Aku Mensyukuri Beberapa Hal. Salah Satunya Adalah Mbak Nisa.

Selepas pulang dari Indonesia Mengajar, aku mensyukuri beberapa hal. Salah satunya adalah Mbak Nisa. Dia mungkin seseorang yang perannya kaya bunglon. Kadang-kadang bisa hangat romantis nan manis, di lain waktu bisa judes dingin kaya gunung es. Kami ga selalu berdiri di perahu yang sama. Kadang kami punya banyak sekali perebedaan. Tapi ga jarang kami selalu berada di frekuensi yang sama. Dia sangat logis. Dan berkali-kali nampar posisiku yang terlalu emosional. Dia lugas, galak, dan apa adanya. Tahun lalu, aku menyaksikan kerentanan Mbak Nisa, dia menangis di bahuku dan aku berusaha keras menahan tangisan yang nyangkut di tenggorokan. Diam-diam aku mengagumi karakternya yang kuat, dan mengagumi kerentanannya yang rapuh. Tentu saja aku menyukai fakta bahwa kita pengagum Dewi Lestari. Quote favorit dia yang aku ingat betul:

"betul, ga ada yg bisa ngatasin segala rasa tentang kehilangan, Win"

“Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.” yang dia kutip juga dari Mbak Dewi Lestari

11 months ago

30 dengan Setengah Alis

Hari ini aku kembali pergi lebih awal untuk berangkat kerja. 05.55 udah rapi dan manasin motor karena seperti biasanya 06.00 aku harus berangkat dari rumah menuju stasiun KRL, supaya dapet kereta jadwal 6.22 arah Tanah Abang. Jam segitu keretanya udah penuh, tapi ga penuh-penuh banget. Kurang lebih setahun ini aku memilih naik KRL karena efektif secara waktu. Kalo bawa motor ngabisin sejam sendiri, belum lagi menghadapi macet disana sini. Naik mobil tentu lebih nyaman, tapi tetep ga menghilangkan macet dan musti bayar tol seuprit yang semahal itu. KRL tentu jauh lebih murah dan cepat, tapi ga nyaman. Selain itu, aku lebih suka ketika punya waktu sejam sebelum pegang klien. Bisa ngaso di office sambil sarapan, nonton, baca artikel, scroll sosmed, atau ya gini, nulis.

Biasanya aku berangkat kerja bareng suami, kantor dia lebih deket dari rumah, yang mana bisa masuk kerja agak siang. Tapi dia lebih sering bertoleransi dengan ikut istrinya berangkat pagi. Sesekali dia nganterin penuh sampe kantor, padahal itungannya bulak balik jauh sekali. Untuk itu aku sering diam-diam bersyukur pas dibonceng dibelakang atau duduk disamping dia yang nyetir sambil nyanyiin playlist Scott Bradlee's Postmodern Jukebox; makasih loh Ya Allah.

Tahun ini, kami sama-sama masuk usia 30 tahun. Anjay 30 bro. Kepala tiga ini sungguh tidak terasa. Pagi itu aku bagun seperti biasanya, agak tickled pink mengingat hari itu aku jadi teteh-teteh umur 30. Lama aku memandangi laki-laki disampingku yang masih merem tapi udah goyang-goyang kaki, tanda dia udah bangun juga. Aku kasih pelukan dan kecupan pertamaku yang juga penuh syukur, makasih ya Allah ternyata aku akan menghabiskan seluruh umurku dengan orang ini.

Aku bangkit dari kasur menuju ke rutinitas pertama, minum air putih dan nimbang berat badan di timbangan digital. Aku bukan tipikal orang yang diet ketat, tapi cukup aware dengan kondisi tubuh. Ketika angka-angka menyembul dari balik layar timbangan, aku juga berterimakasih pada tubuh ini; yang berat badannya gampang turun dan susah naik, masa tulangnya selalu rendah dan lemak di subkutan yang selalu tinggi, juga indeks lain yang hampir selalu ideal. Makasih yang badan, kamu kuat sekali. Tentu saja aku akan bertanggung jawab menjaga kamu untuk jadi lebih sehat dan bugar tiap harinya.

Lalu, saat suamiku yang hilang dari kasur dan terdengar menyalakan kompor di dapur, kupikir dia mulai menyiapkan bekal, ternyata dia kembali naik ke kamar dengan cake di tangan. Skip banget ini orang naro cakenya kapan dan dimana. Meski sepertinya aku meniup lilin dan berdoa, dengan sebelah alis yang belum selesai diukir, aku mensyukuri momen kecil kami ini. Selamat Ulang Tahun Wina.

3 years ago

Caraku Membuhun Waktu: Sounds From The Corner

Hari ini, aku memutar Frau dari kanal youtube Sound from The Corner (SFTC). Dibuka dengan spotlight piano dengan satu kursi, dimana Frau, Leilani Hermiasih, atau Lani nama panggilannya akan berjalan dan duduk menghadap piano. Aku, entah mengapa selalu terobsesi dengan pertunjukan, drama, dialog, panggung, dan lampu sorotnya. Sudah sejak lama, SFTC menjadi salah satu agenda pribadiku dalam membunuh waktu. Aku akan masuk ke http://www.soundsfromthecorner.com./ atau melakukan pencarian cepat di youtube. Baik kategori Session atau Live yang disajikan SFTC akan aku nikmati baik secara auditori maupun visual. 

Lalu Frau akan memainkan piano dengan lagu pembuka I’m a Sir.

I'd dress up like a sir, I'd dress up as a sir Stick on a mustache, a beard, and some speckles And put on a hat, like a sir I'd step up like a sir, I'd step up as a sir My queen shall lay her sword on my shoulders As I say my prayers to bless her

Sejurus kemudian, aku membaringkan tubuh di atas ranjang dengan Frau terus bernyanyi. Rasanya kepalaku berat sekali. Setelah dua hari tidak bisa tidur. Mencoba memejamkan mata. Berusaha keras mengosongkan pikiran. Aku izinkan Frau memenuhi isi kepalaku. Rasanya nyaman sekali. Mungkin ini lullaby yang aku butuhkan. 

Lalu Frau masuk ke lagu ke tiga, judulnya Empat Satu, aku memasrahakan diri mendengarkan setiap liriknya. Sialnya, kini kepalaku berubah menjadi kotak musik dengan gambar yang muncul bergantian. Gambar-gambar dari kejadian dan potongan peristiwa dari salah satu lobus di otakku. Mungkin saat itu, lobus temporalku mendapat stimulus yang berlebihan karena dia bertanggung jawab terhadap fungsi pendengaran, memori, dan emosi. 

Gambarnya terjeda dalam potongan dialog;

“Yang ada antara aku dan kamu adalah kerinduan, penyesalan, harapan dan ketakutan. Layaknya yang terjadi antara Yennefer of Vengerberg dan Geralt of Rivia. Yang ada diantara kita adalah rasa sakit yang aneh, yang digabungkan dengan kebahagiaan. Tapi aku menyadari hanya itu yang aku butuhkan, sudah segalanya bagiku” - 

Lalu aku jatuh tertidur. Karena justru, waktulah yang berhasil membunuhku.

3 years ago
Nay! Makasih Udah Jadi Naya Yang Aku Kenal, Jadi Teman Seneng Dan Susah. Bener-bener Definisi Temen Yang

Nay! Makasih udah jadi Naya yang aku kenal, jadi teman seneng dan susah. Bener-bener definisi temen yang ada pas seneng, dan nemenin pas susah. Sebulan ke belakang aku kehilangan semangat, kebahagiaan, keceriaan. Mereka ilang gitu aja Nay, tiba-tiba aja bisa sedih banget dan nangis di ranjang sampe sesek. Dua minggu tanpa ngerasa lapar, ajaib. Dua minggu susah tidur dan bangun cuman karena muntah-muntah. Iya, itu aku ketika dunia tiba-tiba ga seimbang. Lebay. Tapi emang begitulah adanya. Aku kehilangan banyak hal, termasuk berat badan yang sangat aku inginkan. Lalu Naya hadir, nemenin, meskipun bukan dengan pelukan tapi dengan sumpah serapah dan caci maki hahaha Keliatan jelas kamu pengen bilang kenapa aku nyiksa diri, kenapa aku bodoh banget, tapi kamu ga bilang apa-apa. Nyerahin sepenuhnya sama aku, soal apa yang aku pikirin, soal apa yang aku rasain. Kamu ga nyaranin apapun, kamu cuman nyamperin dan tinggal di samping aku sampe aku ngerasa lebih baik. Pas Naya balik ke Bandung, rasanya berat banget tau!  Terus tiba-tiba banyak paket dateng ke kosan. Kamu ngirim hal-hal yang aku butuhin, dan tau banget kalo aku ga akan peduli sama hal-hal itu. Bisa jadi karena aku terlalu cuek, atau terlalu bokek. Kamu liat aku selalu kuliah daring atau terapi virtual dengan megang hape berjam-jam. Aku tau aku butuh folding bracket, tapi aku selalu lupa buat beli. Maklum sibuk. Aku sering kelaperan tapi mager beli bahkan mager nyemil. Aku baru nyoba pake softlense, dan pasti ga peduli sama penampilan. Lalu kamu kirim semua yang aku butuhin itu. Meskipun kamu ga ngirim kaos Barasuara yang aku pengen. Kureng Nay! Perhatian kecil yang murah tapi berharga banget. Postingan ini kalo dibaca lagi di kemudian hari, kita bakal ngakak dan ngenang ini sebagai masa-masa muda yang menyakitkan sekaligus menyenangkan. Aku mungkin kehilangan banyak hal, tapi satu yang jelas, aku mensyukuri satu hal. Aku punya Naya yang akan selalu jadi temen aku. Yang mulutnya lemes banget tapi hatinya hangat.  Pamulang, 30/11/21

2 years ago

Menyalakan Kembang Api

image

pict: pinterest

Tahun 2022 baru saja berlalu dalam tanggalan ke belakang. Sudah seminggu berlalu dan kalender di dinding menunjukkan angka baru; 2023. 2022 merupakan tahun yang berat dan jungkir balik. Secara fisik dan mental. Aku melewati paruh pertama dengan menjadi pasien seorang psikolog. Semenjak paruh akhir 2021. Tengah tahun 2022, aku tetap konsultasi ke psikolog. Ini hanya sebuah usaha untuk tetap menjadi waras dan untuk menyelamatkan fisikku yang kian hari kian turun berat badan. Selama itu, aku menutup diri dari banyak hal, tapi juga membuka diri pada banyak hal. Ada lubang menganga besar di dadaku yang pun betapa mengangga ia, yang hadir hanyalah kekosongan. 

Pelan-pelan, di paruh akhir tahun 2022, aku mulai kembali merasa hidup. Aku menemukan diriku lagi. Aku menghidupi lagi values yang selama ini aku miliki. Bukan hanya karena usahaku sendiri untuk sembuh, tapi berkat keluarga, teman dan sahabat terdekat yang terus menemani fase berat dalam hidupku. Mereka, secara bergantian membersamai. Ga perlu aku sebut, karena kalian sudah tentu tau dan merasa. Terima kasih banyak. 

Dan, yang padam dalam rongga dada, kini menemukan kembali nyalanya. Aku mulai menyalakan kembang api. Dengan percik sedikit. Dengan hangat yang cukup. Hingga jadi kobar yang membara. Tapi. Cantiknya bak kembang api tahun baru yang aku saksikan di sepanjang tol layang menuju Jakarta. Euforianya akan hilang. Apinya akan padam. Tapi aku tau, bahwa aku sudah dalam pelukan kehangatan yang paling tepat. 

Selamat menempuh 2023 Wina, dengan cinta dan kasih sayang terbaik yang bisa kamu berikan pada semesta.

2 years ago

Refleksi IWD 2023: Untuk diriku

Selamat Hari Perempuan Internasional! Biasanya aku merayakan #IWD tiap tahunnya dengan menuliskan refleksi singkat tentang pengalaman, harapan atau kegundahan yang tengah aku rasakan saat itu. Tapi kali ini aku menyempatkan diri untuk duduk diantara Bab-Bab tesisku yang tak kunjung usai dengan menuliskan refleksi IWD tahun ini. Tulisan ini ditujukan untuk diriku. Ada beberapa hal yang ingin aku ingatkan pada Wina di dalam sana.

Merasa Nyaman dengan Diri, Tubuh serta Tektekbengeknya: Sudah sejak kecil aku mendengar standar kecantikan dan tubuh seorang perempuan diperbincangkan. Sejak SD, aku familiar dengan lagu Panon Hideung. Betapa gambaran tentang perempuan cantik yang membuat laki-laki snewen adalah mereka yang berhidung mancung. Lantas hidung pesek ini bagaimana? Tentu saja saat itu aku merasa tercoret dari katagori cantik untuk ukuran perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku bertemu dengan banyak sekali perempuan di luar sana. Hingga akhirnya aku menemukan bahwa kecantikan itu universal. Standar kecantikan yang ada berujung pada objektifikasi perempuan. Standar kecantikan hanya buah dari konstruksi yang dibangun media. Etc etc wasweswos. Pikiran soal menjadi cantik di depan orang lain juga terkoreksi dengan sendirinya. Bahwa menjadi cantik adalah untuk diriku sendiri. Saat ini, aku bisa dengan bangga mengatakan di depan cermin bahwa aku sangat menyukai porsi tubuhku yang petite. Gadis semeter setengah yang juga menyukai bentuk hidungnya yang pesek. Menerima bekas luka di pipi kanan yang sulit ditutupi bedak. Menerima secara terbuka luka batin yang sempat perih dan terus tinggal di dalam sana. Menyukai bagaimana aku berpakaian. Mencintai bagaimana aku berbicara dan berpendapat. Aku nyaman dengan tubuh, diri dan segala tektekbengek yang mengikutinya. Seperti sakit pinggang di hari pertama menjelang menstruasi yang nyerinya minta ampun. Aku pun memeluk itu sebagai bagian dari diriku hari ini.

Menerima Bahwa Tidak Semua Perempuan Memiliki Pilihan: Sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Aku adalah seseorang dengan privilege tumbuh dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Bisa mengakses pendidikan dan kesehatan dengan memadai. Hidup nyaman tanpa harus berpikir kebingungan besok makan apa. Bahkan masih bisa bermimpi tentang masa depan. Aku sampai pada kesadaran bahwa dunia tidak berputar hanya di sekelilingku. Ada yang lebih besar dariku. Ada banyak perempuan lain yang justru hidup jauh lebih sulit dari kehidupan yang aku jalani. Kesulitan yang dialami bukan karena kebodohan, kemalasan, atau hal-hal lain. Banyak diantaranya karena permasalahan struktural dan sistemik yang bangsat. Menyakitkan memang melihat salah satu murid perempuanku di pelosok sana memilih untuk berhenti sekolah dan menikah di usia yang masih sangat belia. Mendengar seorang ibu yang rela menjadi korban KDRT demi mempertahankan keluarga dan anaknya. Seorang permepuan yang turut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga hingga kehabisan waktu untuk diri sendiri. Serta banyak cerita lain yang sempat aku katakan salah dan tidak ideal dari kaca mata perempuan. Dari sini, jauh-jauhlah rasa angkuh dan sombong. Maka dengan menyadari dan menerima ini sebagai bagian dari kehidupan perempuan hari ini, semoga jadi bahan untuk aku selalu berbuat dan berempatik pada sekitar.

Bergerak Menuju Kehidupan yang Berdaya dan Inklusif: maka sudah seharusnya aku menuju kepada-menjadi manusia yang berdaya. Berdaya dalam berpikir dan bertindak, yang mengedepankan kemanusiaan. Manusiakan manusia!

3 years ago

20/11/21

Kali ini aku masuk kelas virtual dengan terburu-buru, setelah tanpa sengaja ketiduran di ranjang kosan. Sebelum kamera leptop menyala, aku sempatkan memperbaiki riasan sekenanya. Hari ini mata kuliah Pengantar Kesehatan Mental Komunitas dan Disabilitas, dosen tamu kali ini Dr. Bahrul Fuad, MA (niscaya setelah ngecek LinkedIn aku terkagum-kagum dengan profil beliau). Pak Fuad terlahir dengan disabilitas dan hidup menggunakan kursi roda, dan kemarin mengisi kelasku dengan sangat mengagumkan. Kami berbicara tentang konsep dan perspektif disabilitas, diskusi yang terbangun begitu menarik. Aku sangat suka berada di ruang kelas, belajar, dan mengetahui sesuatu yang baru.

disability is “an evolving concept”, but also stresses that “disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others” -  The Preamble to the CRPD

Jika melihat definisi ini, seseorang dikatakan sebagai disabilitas ketika terjadi interaksi antara keterbatasan seseorang baik fisik dan/atau mental dengan hambatan lingkungan dan sikap masyarakat yang menyebabkan dia tidak bisa berpartisipasi dalam masyarakat secara setara. Persoalan disabilitas bukan pada impairment-nya, tapi justru di luar dirinya. Peningkatan partisipasi sosial orang dengan disabilitas dapat dicapai justru dengan mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi penyandang disabilitas dalam kehidupan mereka sehari-hari (hambatan lingkungan dan sikap masyarakat).

Pak Fuad membagi pengalamannya ketika study di Belanda, dia tidak merasa dirinya disabilitas karena ketika ia di Belanda, ia bisa berpartisipasi di masyarakat sebagaimana manusia lainnya. Beliau bisa menggunakan angkutan umum dan mengunjungi tempat-tempat yang dituju dengan mudah, karena lingkungan tidak menghambatnya untuk bergerak dan berpartisipasi. Ketika beliau kembali ke Surabaya, beliau kembali menjadi disabilitas. Cerita lain, ketika Pak Fuad merasa heran karena tidak pernah ada rapat warga di tempat beliau tinggal. Ketika ia bertanya tentang rapat rutin yang mungkin ada, ternyata para tetangga telah bersepakat untuk “memaklumi” kondisi Pak Fuad sehingga dianggap tidak perlu ikut rapat warga. Padahal Pak Fuad sendiri ingin dan bisa untuk ikut bersosialisasi dengan tetangganya. Hmm.

Sudah seharusnya kita mulai melihat disabilitas dengan kacamata yang lebih jernih. Setiap manusia unik, dan pemahaman uniqueness ini perlu ditingkatkan terutama oleh kita yang merasa non-disabilitas. atau yang kadang-kadang ngerasa sempurna tanpa kelemahan.

terakhir ada kutipan milik Pak Fuad yang sangat berkesan sekaligus nyentil ulu hati:

“everything you hear about disability is an opinion, not a fact; and everything you see on disability is only a perspective, not the truth; unless you experience it.  (Bahrul Fuad, 2017)

3 years ago

April

12.17 AM, sudut layar leptopku berkedip ketika sebuah notifikasi menyembul seolah memaksaku segera mengisi daya. Kembali melirik sudut kanan bawah, ternyata sudah lewat tengah malam, sedang aku masih membuka beberapa Peraturan Daerah (Perda)  terkait perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas. Membandingkan satu Perda dengan Perda yang lain. Sudah hampir dua semester ini aku lebih banyak berkutat dengan kebijakan, di kelas-kelas formal jalur zoom, juga di kelas alternatif Think Policy Bootcamp yang tentu saja via zoom juga. Semuanya membuat kosakata istirahat harus selalu ditunda. Aku putuskan untuk merayakan saja.

Memasuki pekan Ujian Tengah Semester, atmosfir urusan kuliah mulai intens. Ditambah aku memutuskan mengambil jadwal praktek di hari minggu per April ini. Lengkap sudah tidak ada warna merah dalam 7/7 kehidupanku. Sekali lagi, aku putuskan untuk merayakan saja. 

Mari rayakan hari-hari tanpa libur yang berarti. Hari-hari yang rusuh berangkat pagi ke tempat kerja sedang mata masih rapet sisa begadang semalaman. Merayakan jam kosong di klinik dengan tidur di atas matras pas bangun sakit badan. Merayakan kuyup karena pun udah pakai jas hujan, angin di Ciputat dan Pamulang tetap ga pandang bulu. Merayakan berbagai rasa sakit dan ga nyaman, merayakan hal-hal kecil yang membahagiakan. 

April, bulan merayakan.

3 years ago

Midnight Diner - Serial Jepang yang Hangat

Apa sih serunya nonton orang Jepang yang jajan ke warung makan tengah malem? Mungkin terdengar sangat biasa. Serial Jepang berjudul Midnight Dinner tidak sengaja aku temukan ketika mencari serial drama yang ringan di Netflix. Setelah membaca review singkatnya, aku langsung nyoba episode pertama di season pertama serial ini, dan ternyata nagih. 

Setiap episode dibuka narasi Master (juru masak) di sebuah warung makan kecil di Tokyo yang hanya buka pukul 12.00 dini hari sampai 07.00 pagi. Tempat makan yang kecil dengan meja bar berbentuk U yang biasa kita temui di restoran-restoran Jepang lengkap dengan gelas sumpit. Warung makan milik Master ini ga punya menu khusus, aturan sang Master adalah dia akan menyajikan makanan yang dipesan pelanggannya selama ia punya bahan-bahannya. Jangan salah, Master punya banyak pelanggan tetap mamupun mereka yang datang dan pergi karena kebetulan saja. 

image

pict source: https://www.mainmain.id/

Bagian yang menurutku menarik adalah, setiap episode yang durasinya sekitar 25 menit ini akan menceritakan satu kisah yang berbeda. Biasanya adalah kisah-kisah pelanggan yang datang ke rumah makan ini. Ceritanya relate dengan kehidupan manusia pada umumnya; kesepian, kesedihan, kehilangan, patah hati, amarah, cinta kasih. Yang menarik setiap cerita akan memiliki relasi dengan makanan tertentu. Misalnya saat Gen seorang yang berpenampilan kasar seperti Yakuza selalu memesan akar gobo kepada Master. Ternyata akar gobo memiliki kenangan yang dalam tentang masa lalunya di SMA. Pengenalan - konflik - hingga resolusi dapat tersampaikan dengan baik dalam 25 menit. 

image

pict source: https://www.mainmain.id/

Setiap episode menjadi kaya akan cerita dan karakter setiap tokoh yang diceritakan. Aku akan menemukan kegelisahan seorang pekerja swasta perusahaan Jepang yang hampir tidak bisa membayar sewa rumahnya, seorang wanita penghibur yang berusaha keras menghadapi stigma karena ia bekerja dari menari malam hari, seorang ayah yang merindukan anaknya, atau tokoh-tokoh lain yang mungkin saja sama seperti mereka yang aku temui di kehidupan ini. Mereka membawa cerita, berkah, dan bebannya masing-masing. 

Master, masakannya, dan warung makan kecil di tengah malam Tokyo menjadi semacam tempat sementara bagi orang-orang yang datang untuk sejenak beristirahat, sambil menikmati makanan rumahan yang mendatangkan banyak kenangan dari masa lalu.

Aku pernah mengingat kenangan hanya gara-gara makan pecel lele, ice cream McD, atau makanan apapun yang bisa membangkitkan cerita dari masa lalu. 

3 years ago

Terima kasih, Prof

pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati 

pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari

Loading...
End of content
No more pages to load

43 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags